1. PENDAHULUAN
1.1 Sifat Internasional Nuklir
Dari permulaan, pengembangan energi nuklir telah bersifat internasional, lahir dari laboratorium-laboratorium riset yang tersebar luas, sebagai gagasan dan hasil kerja para ilmuwan di satu negara yang memicu rekan-rekannya di lain negara.
Pada 1920-an dan 1930-an fisikawan dan kimiawan terkemuka Eropa dan AS secara gradual menyingkap struktur unsur-unsur dan dinamika inti atomnya dan partikel-partikel subatomik.
1.2 Pengontrolan Nuklir
Pada 15 November 1945, Presiden AS H. Truman, PM Inggris Atlee, PM Kanada Mackenzie King, bertemu di Washington dan menghasilkan suatu persetujuan ”Three Nation Agreed Declaration on Atomic Energy” yang mengindikasikan kerelaan mereka memberikan informasi nuklir untuk tujuan damai kepada pihak lain dengan syarat menerima safeguard terhadap penggunaan bukan untuk tujuan damai. Mereka menyarankan kepada PBB yang baru saja lahir untuk menangani masalah nuklir. Segera setelah itu, pada 27 Desember 1945, pada pertemuan Dewan Menlu di Moskow, AS dan Inggris mengusulkan dan Uni Soviet menyetujuinya, bahwa suatu Komisi Tenaga Atom PBB (UNAEC) harus dibentuk untuk menangani masalah-masalah yang timbul dari penemuan tenaga atom dan masalah yang terkait dengannya. Soviet menekankan bahwa kerja UNAEC harus atas dasar arahan Dewan Keamanan, AS dan Inggris menerima syarat itu.
Pada 1945 hanya satu negara yang memiliki infrastruktur industri yang masif, kekayaan, bahan dan konsentrasi keahlian ilmiah dari Eropa dan AS yang diperlukan untuk membuat senjata nuklir. Namun keunggulan ini akan tergerus waktu dan negara lain juga bergerak memasuki era nuklir.
Pada September 1949, Soviet melakukan uji coba ledakan nuklir yang pertama, sesuatu yang mengejutkan pejabat AS termasuk Jenderal Leslie R. Groves, penggerak utama Proyek Manhattan. Mereka sebelumnya mengira perlu 20 tahun bagi Soviet untuk menjadi negara bersenjata nuklir kedua di dunia.
Inggris menjadi yang ketiga pada Oktober 1952.
Sekali terobosan ilmiah dan teknis pada senjata nuklir dicapai dan menjadi milik publik, replikasi peranti tersebut sebagian besar hanya masalah rekayasa belaka. Dan negara-negara lain berlumba mengembangkan teknologi tersebut, yang lebih banyak karena pertimbangan politik, ketimbang teknis semata.
1.3. Atoms for Peace
Akhir monopoli nuklir AS, jalan buntu di PBB dan peningkatan ketegangan Perang Dingin akhirnya memupuskan harapan adanya dunia yang bebas dari senjata nuklir. Namun, Eisenhower ditakdirkan untuk menawarkan jalan keluar dari situasi tanpa harapan tersebut.
Pada Januari 1953, Eisenhower menggantikan Truman dan pada 5 Maret 1953 Stalin wafat. Saat itu monopoli AS terhadap penggunaan teknologi nuklir untuk tujuan sipil dan militer mulai tersaingi dan perusahaan-perusahaan AS khawatir kehilangan pasar kepada Inggris dan Kanada. Para pembuat kebijakan di AS dan sekutunya juga menyimpulkan perlunya melanjutkan pembicaraan perlucutan senjata nuklir.
Kekhawatiran memuncak ketika 12 Agustus 1953 Soviet meledakkan apa yang diyakini AS sebagai bom hidrogen. Kekhawatiran ini mengubah kebijakan nuklir AS, selain dorongan privatisasi nuklir di kalangan internal AS sendiri.
Itu terjadi pada September 1953 ketika Eisenhower sampai pada gagasan yang menjadi inti dari pidato ’Atoms for Peace’-nya di depan MU PBB pada 8 Desember tahun itu, bahwa bahan-bahan fisil negara-negara bersenjata nuklir hendaknya dikumpulkan dalam suatu lumbung bersama yang akan digunakan oleh semua bangsa untuk tujuan damai. Gagasan lumbung (atau bank) bersama tersebut dipandang sebagai pendekatan baru dan evolusioner terhadap perlucutan senjata, sebagai alat pembangun kepercayaan antara blok Timur dan Barat, dan sebagai jalan menuju adanya suatu badan internasional yang akan mempromosikan pemanfaatan nuklir tujuan damai (sipil).
Pada permulaan Desember 1953, Eisenhower bertemu Churchill di Bermuda dan memperlihatkan draf pidato tersebut kepadanya, yang disambut hangat Churchill. Dan saat disampaikan dihadapan Majelis, pidato tersebut disambut secara antusias. Setahun kemudian, pada 4 Desember 1954, disahkanlah secara bulat pendirian badan baru.
1.4. Pembentukan IAEA
Setelah melalui serangkaian perundingan baik bilateral maupun multilateral proses perumusan, berlangsung selama 1954 sampai 1956, Statuta (sebanyak 23 pasal) akhirnya dapat difinalisasi dan ditandatangani oleh 81 negara, termasuk Indonesia, pada Oktober 1956 di New York. Setahun kemudian pada Juli 1957, Statuta tersebut dinyatakan mulai berlaku efektif, setelah proses ratifikasi beberapa negara dan dinyatakan sebagai hari lahirnya IAEA. Indonesia meratifikasinya dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1957.
Selama bertahun-tahun, Indonesia telah menjadi mitra suportif dan penerima bantuan IAEA.
Tujuan IAEA sebagaimana dinyatakan dalam Statutanya adalah mempercepat dan memperbesar sumbangan tenaga atom pada perdamaian, kesehatan dan kemakmuran di seluruh dunia. Sejauh disanggupi, perlu dijamin bahwa bantuan yang diberikan atau dimintakan atau di bawah pengawasan atau kontrolnya tersebut tidak digunakan untuk tujuan militer.
Secara ringkas, Statuta IAEA menggariskan tiga pilar: Safeguards & Verification, Safety & Security dan Kerja sama Internasional Tranfer Teknologi.
2. PERJANJIAN INTERNASIONAL KETENAGANUKLIRAN
2.1 Infrastruktur untuk mendukung Program Nuklir
Bagi negara yang ingin masuk arena nuklir, tantangan terbesar sering terkait dengan infrastruktur yang diperlukan untuk mendukung program tersebut.
Infrastuktur yang diperlukan, sesuai panduan IAEA, antara lain meliputi partisipasi pada traktat dan konvensi internasional, dan kerangka legal nuklir dan regulasi nuklir nasional.
Introduksi program nuklir memerlukan komitmen jangka panjang, baik secara nasional maupun internasional. Kerangka waktu sedikitnya 100 tahun haruslah diperhitungkan, dengan 10-15 tahun perioda implementasi awal. Poin-poin kunci yang harus dipahami dalam rangka komitmen tersebut antara lain meliputi perlunya jaminan keselamatan, keamanan dan non-proliferasi bahan nuklir, perlunya bergabung dengan traktat dan konvensi internasional yang sesuai serta perlunya mengembangkan kerangka legal yang komprehensif yang mencakup semua aspek hukum nuklir tentang keselamatan, keamanan dan pertanggungan ganti rugi nuklir serta aspek legislatif, pengawasan dan komersial.
Kerangka instrumen internasional yang relevan dengan maksud tersebut dapat dilihat dalam Tabel 1
Table 1. Instrumen Internasional Relevan
Comprehensive Safeguards Agreement (INFCIRC/153 Corr.)
Additional Protocol pursuant to INFCIRC/540 (Corr.)
Convention on Early Notification of a Nuclear Accident (INFCIRC/335)
Convention on Assistance in the Case of a Nuclear Accident or Radiological Emergency (INFCIRC/336)
Convention on Nuclear Safety (INFCIRC/449)
Joint Convention on the Safety of Spent Fuel Management and on the Safety of
Radioactive Waste Management (the ‘Joint Convention’), INFCIRC/546
Convention on the Physical Protection of Nuclear Material (INFCIR/274) dan Amendmentnya
Vienna Convention on Civil Liability for Nuclear Damage (INFCIRC/500)
Joint Protocol Relating to the Application of the Vienna Convention and the Paris Convention, INFCIRC/402
Protocol to Amend the 1963 Vienna Convention on Civil Liability for Nuclear Damage
Convention on Supplementary Compensation for Nuclear Damage
Revised Supplementary Agreement concerning the provision of Technical Assistance by the IAEA
3. SISTEM SAFEGUARD
3.1 Traktat Non-Proliferasi Senjata Nuklir
Sejak 1960-an, sistem safeguard (pengawasan) internasional IAEA merupakan komponen sentral dalam mengontrol penyebaran nuklir. Di bawah ketentuan-ketentuan dari persetujuan-persetujuan yang dicapai IAEA dengan negara-negara penandatangan, para inspektur (pengawas) IAEA secara teratur mengunjungi fasilitas-fasilitas nuklir untuk memverifikasi rekaman-rekaman yang dilakukan otorita negara bersangkutan tempat di mana bahan nuklir berada, mencek peralatan dan perlengkapan pengawasan yang dipasang IAEA, dan mengkonfirmasi penyimpanan fisik bahan-bahan nuklir. Mereka kemudian membuat laporan-laporan rinci kepada negara yang ditinjau dan kepada IAEA.
Safeguard merupakan peraturan teknis verifikasi yang sesuai dengan kewajiban-kewajiban legal yang relevan dengan penggunaan energi nuklir tujuan damai. Tujuannya adalah politis, yaitu untuk menjamin masyarakat internasional akan sifat damai kegiatan nuklir yang disafeguard dan untuk menghalangi penyimpangan atau penyalahgunaan bahan-bahan atau fasilitas-fasilitas yang disafeguard melalui deteksi dini.
Persetujuan-persetujuan legal merupakan basis safeguard IAEA, yang antara lain secara popular banyak dikenal sebagai persetujuan-persetujuan skop-penuh (full-scope agreements) karena mencakup pada semua aktivitas dan bahan-bahan nuklir tujuan damai di negara terkait. Ini terutama terkait dengan Traktat Non-Proliferasi Senjata Nuklir (NPT) dan Traktat Pelarangan Senjata Nuklir untuk kawasan regional seperti Traktat Tlateloco (Amerika Latin), Traktat Rarotonga (Pasifik Selatan) dan Traktat Bangkok (ASEAN).
Indonesia menandatangani persetujuan safeguard dengan IAEA dalam kaitan dengan NPT pada 14 Juli 1980, dua tahun setelah Pemerintah Indonesia meratifikasi NPT melaui UU No. 8 Tahun 1978.
Traktat Non-Proliferasi Senjata Nuklir (Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons-NPT) merupakan traktat internasional yang bertujuan untuk mencegah penyebaran senjata nuklir dan teknologi senjata nuklir, mendorong perkembangan penggunaan energi nuklir untuk maksud damai, dan memajukan tujuan mencapai perlucutan secara umum dan menyeluruh. Traktat menetapkan suatu sistem pengamanan (safeguards system) di bawah tanggung jawab IAEA, yang juga memainkan peran sentral di bawah Traktat dalam bidang-bidang transfer teknologi untuk maksud-maksud damai.
Traktat ini diadopsi tanggal 12 Juni 1968 di New York, dan mulai berlaku efektif pada 5 Maret 1970. Indonesia menandatangani Traktat ini pada 2 Maret 1970 dan meratifikasinya pada 25 Nopember 1978. Telah 187 negara yang menjadi negara pihak dalam NPT.
3.2 Additional Protocol to Safeguards
Perkembangan lebih lanjut dalam energi nuklir dan adanya beberapa negara yang menyimpang dari ketentuan safeguard (seperti Irak dan Korea Utara) telah mendorong perlunya penguatan dan penyempurnaan sistem safeguard dengan dihasilkannya Additional Protocol terhadap persetujuan safeguard. Indonesia, yang telah menjadi negara pihak pada Persetujuan Safeguard dengan IAEA, kemudian menandatangani Addional Protocol ini pada 29 September 1999. Dengan telah ditandatanganinya Additional Protocol tersebut, Indonesia mempunyai kewajiban untuk membuat laporan triwulan dan laporan tahunan kepada IAEA tentang fasilitas, potensi tambang, kegiatan dan program nuklirnya.
4. HIKMAH PERISTIWA CHERNOBYL
Sejak promosi nuklir tujuan damai, pengembangan nuklir berpacu dalam laju yang cepat, banyak negara mulai meluncurkan program litbang nuklirnya untuk kepentingan pembangunan nasional masing-masing, termasuk Indonesia, yang sedari awal telah berpartisipasi dan mengikutinya dengan membentuk badan serupa pada level nasional, Lembaga Tenaga Atom (kelak pada 1965 menjadi Badan Tenaga Atom Nasional [BATAN]) pada 1958.
Antusiasme begitu tinggi terhadap nuklir hingga akhir 1980-an dan perkembangan tampaknya memasuki masa-masa keemasan. Namun peristiwa Three Mile Island 1979 dan Chernobyl 1986, telah membawa keadaan stagnan di Barat, laju pembangunan pembangkit listrik mengalami pelambatan, kecuali di Asia.
Peristiwa Chernobyl yang terjadi 25-26 April 1986 telah memicu suatu tindakan segera yang berkelanjutan dan komprehensif dari masyarakat Internasional yang menghasilkan sejumlah instrumen internasional baru yang ditujukan untuk menghindari atau mengatasi kelemahan rezim hukum internasional pra-1986 yang terbukti tidak berjalan efektif:
26 September 1986: adopsi the Convention on Early Notification of a Nuclear Accident;
26 September 1986: adopsi the Convention on Assistance in the Case of Nuclear Accident or Radiological Emergency ;
21 September 1988: adopsi the Joint Protocol Relating in the Application of the Vienna Convention and the Paris Convention;
17 Juni 1994: adopsi the Convention on Nuclear Safety;
5 September 1997: adopsi the Joint Convention on the Safety of Spent Fuel Management and the Safety of Radioactive Waste Management;
12 September 1997: adopsi the Protocol to Amend the 1963 Vienna Convention on Civil Liability for Nuclear Damage;
12 September 1997: adopsi the Convention on Supplementary Compensation for Nuclear Damage;
12 Februari 2004: adopsi the Protocol to Amend the Convention on Third Party Liability in the Field of Nuclear Energy of 29 July 1960, as Amendedby the Additional Protocol of 28 January 1964 and by the Protocol of 16 November 1982;
12 Februari 2004: adopsi the Protocol to Amend the Convention of 31 January 1963 Supplementary to the Paris Convention of 29 July 1960 on Third Party Liability in the Field of Nuclear Energy, as Amended by the Additional Protocol of 28 January 1964 and by the Protocol of 16 November 1982;
8 Juli 2005: adopsi the Amendment to the Convention on the Physical Protection of Nuclear Material.
Semua traktat yang diterakan di atas adalah instrument internasional multilateral dan bersifat mengikat, yang hampir semuanya telah berlaku efektif, dengan kekecualian Convention on Supplementary Compensation for Nuclear Damage 1997; Protocols to Amend the Paris and the Brussel Conventions 2004 dan Amendment to the Convention on the Physical Protection of Nuclear Material 2005. Kendati Amendment to the Convention on the Physical Protection of Nuclear Material 2005 mungkin tidak harus dikualifikasikan sebagai reaksi langsung terhadap peristiwa Chernobyl karena dia dirancang untuk mengantisipasi peningkatan ancaman terorisme, instrumen ini tetap dihitung dalam pengertian ini. Ada bidang antarmuka antara keselamatan dan keamanan yang memerlukan perhatian. Langkah-langkah proteksi fisik, sebagai efek samping, memperkuat keselamatan nuklir dan sebaliknya. Sebagai akibatnya, Convention on the Physical Protection of Nuclear Material merupakan bagian dari apa yang disebut Keluarga Konvensi Keselamatan Nuklir, anggota lainnya adalah the Convention on Early Notification of a Nuclear Accident; the Convention on Assistance in the Case of Nuclear Accident or Radiological Emergency, the Convention on Nuclear Safety, dan the Joint Convention on the Safety of Spent Fuel Management and the Safety of Radioactive Waste Management.
Di samping traktat internasional yang mengikat tersebut di atas, berbagai instrumen internasional tidak mengikat juga telah dikembangkan sejak 1986, sebagai kelanjutan usaha yang telah ada sejak pendirian IAEA dan organisasi kompeten lainnya. Khususnya, berupa rekomendasi-rekomendasi teknis dalam bidang keselamatan nuklir, proteksi radiasi dan transportasi dengan memperbarui rekomendasi yang telah ada atau yang sama sekali baru dikembangkan. Ini dikembangkan oleh kelompok ahli INSAG dan dipublikasikan oleh IAEA.
Salah satu yang terpenting adalah ”Code of Conduct on the Safety of Research Reactors” yang diadopsi Dewan Gubernur IAEA pada 8 Maret 2004. Lingkup aplikasi Konvensi Keselamatan Nuklir 1994 diketahui terbatas hanya untuk PLTN sipil yang berada di darat dan sebagai akibatnya, sebagian besar reaktor riset di seluruh dunia tidak dicakup di dalamnya. Pengecualian ini bersifat politis, salah satunya karena reaktor-reaktor riset sering berfungsi ganda (dual-purpose). Instrumen Code of Conduct tidak mengikat menawarkan kompromi untuk juga menarik negara-negara agar sudi menjadikan reaktor-reaktor riset mereka sebagai subyek rezim internasional yang mengikat. Kode tersebut merupakan komplemen penting terhadap Convention on Nuclear Safety.
Code of Conduct lainnya adalah ”Code of Conduct on the Safety and Security of Radioactive Sources” yang disetujui oleh Dewan Gubernur IAEA pada 8 September 2003. Sumber-sumber radioaktif bukan merupakan bagian dari daur bahan bakar nuklir, yang berarti tidak ada kaitan langsung dengan peristiwa Chernobyl. Di lain pihak sumber-sumber radioaktif secara berulang telah dimasukkan dalam kecelakaan radiasi utama, yang paling terkenal adalah peristiwa Goiania (Brazil) 1987. Skenerionya mirip dengan skenario setelah Chernobyl meski pada level risiko lebih rendah. Karena, terkait dengan sumber radioaktif, masih ada ketimpangan dalam rezim legal pada level nasional dan internasional, situasi ini juga memerlukan tindakan internasional. Code of Conduct ini merupakan respons terhadap tantangan ini.
5. TANGGAP DARURAT INTERNASIONAL
5.1. Pemberitahuan Dini
Convention on Early Notification of a Nuclear Accident (Konvensi Pemberitahuan Dini Terjadinya Kecelakaan Nuklir) menetapkan suatu sistem pemberitahuan dini atas terjadinya kecelakaan nuklir yang mempunyai potensi pelepasan bahan-bahan radioaktif yang melintasi batas-batas Internasional antar negara yang mempunyai dampak keselamatan radiologis bagi Negara lain. Konvensi mewajibkan Negara yang mengalami kecelakaan nuklir untuk melaporkan waktu, lokasi, tingkat pelepasan radiasi, dan data esensial lainnya guna keperluan pengkajian situasi. Pemberitahuan diberikan kepada Negara-negara yang bakal terkena dampak yang dapat disampaikan secara langsung atau melalui IAEA, dan kepada IAEA itu sendiri. Pelaporan adalah wajib bagi setiap kecelakaan nuklir yang meliputi fasilitas dan aktivitas berikut: setiap reaktor nuklir di manapun berada; setiap fasilitas daur bahan bakar nuklir; setiap fasilitas pengelolaan limbah radioaktif; transportasi dan penyimpanan bahan bakar nuklir atau limbah radioaktif; manufaktur, penggunaan, penyimpanan, pembuangan dan transportasi radioisotop bagi keperluan pertanian, industri, kedokteran, dan penelitian serta ilmiah yang terkait; dan penggunaan radioisotop untuk pembangkitan daya di wahana-wahana ruang angkasa. Pemberitahuan dan Informasi juga harus diberikan dalam hal terjadi kecelakaan nuklir selain yang dinyatakan di atas, guna meminimalkan konsekuensi-konsekuensi radiologis.
Lima negara bersenjata nuklir (Amerika, Cina, Inggeris, Perancis dan Rusia) semuanya telah menyatakan kerelaan mereka untuk melaporkan setiap kecelakaan nuklir yang melibatkan senjata dan uji coba senjata nuklir.
Konvensi ini diadopsi tanggal 26 September 1986 di Wina, Austria, dan mulai berlaku efektif pada 27 Oktober 1986. Indonesia menandatangani Konvensi ini bersamaan dengan tanggal diadopsinya Konvensi dan meratifikasinya pada 1 September 1993.
5.2. Bantuan Kedaruratan
Convention on Assistance in the Case of Nuclear Accident or Radiological Emergency (Konvensi Pemberian Bantuan dalam Hal Terjadinya Kecelakaan Nuklir atau Kedaruratan Radiologis) merupakan saudara kembar dari Convention on Early Notification of a Nuclear Accident. Konvensi menetapkan suatu kerangka kerja internasional bagi kerja sama di antara Negara-negara Pihak dan dengan IAEA untuk memfasilitasi bantuan dan dukungan segera dalam peristiwa kecelakaan nuklir ataupun kedaruratan nuklir. Negara-Negara Pihak wajib memberitahu IAEA tentang ketersediaan ahli (expert), perlengkapan, dan bahan-bahan lain yang mereka miliki guna pemberian bantuan. Atas permintaan, tiap Negara Pihak memutuskan apakah ia dapat menyumbang bantuan yang di minta juga lingkup dan syarat-syaratnya. Bantuan dapat ditawarkan tanpa biaya yang diperhitungkan antara lain keperluan negara-negara berkembang dan khususnya keperluan negara-negara tanpa fasilitas nuklir. IAEA bertindak sebagai pusat koordinasi (focal point) bagi kerja sama tersebut dengan cara meneruskan/menyalurkan informasi, usaha-usaha bantuan/dukungan, dan memberikan jasa-jasa yang ada.
Konvensi ini diadopsi tanggal 26 September 1986 di Wina, Austria, dan mulai berlaku efektif pada 27 Oktober 1986. Indonesia menandatangani Konvensi ini bersamaan dengan tanggal diadopsinya Konvensi dan meratifikasinya pada 1 September 1993.
6. KESELAMATAN NUKLIR
Dalam pengertian sempit keselamatan nuklir merujuk pada penanganan yang berkaitan dengan daur bahan bakar nuklir, dan keselamatan radiasi berkaitan dengan risiko-risiko yang mungkin timbul dari penggunaan radiasi pengion, termasuk penggunaan radioisotop dan radiasi dalam kedokteran, industri dan berbagai bidang lainnya. Manajemen limbah secara serupa berkaitan dengan risiko-risiko yang timbul dari limbah radioaktif termasuk penyimpanan dan pembuangannya. Namun dalam konteks ini ’keselamatan nuklir’ digunakan sebagai payung yang mencakup semua aktivitas tersebut.
Dari permulaannya, fungsi IAEA terkait dengan keselamatan nuklir dan radiasi serta manajemen limbah nuklir dan radioaktif lainnya, yang menurut Statutanya, menjangkau kategori luas berikut:
Dukungan terhadap litbang (misalnya, efek radiasi dan perilaku radionuklida pada lingkungan);
Menetapkan standar, regulasi, petunjuk pelaksanaan, panduan, dan lain-lain yang berkaitan dengan daur bahan nuklir dan limbah radioaktif secara komprehensif;
Membantu negara anggotanya, khususnya negara berkembang, memperkuat infrastruktur nasionalnya yang berkaitan dengan keselamatan nuklir, keselamatan radiasi dan pengelolaan limbah radioaktif;
Mempromosikan konvensi-konvensi Internasional yang mengikat tentang keselamatan nuklir, pemberitahuan dini terjadinya kecelakaan nuklir, pemberian bantuan pada peristiwa kedaruratan nuklir/radiologis, pengelolaan limbah radioaktif, pertanggungan pihak ketiga dalam kasus terjadinya kecelakaan nuklir, pertanggungan operasi kapal-kapal nuklir, dan proteksi fisik bahan dan fasilitas nuklir dari tindakan kriminal.
6.1. Internasionalisasi Hukum Nuklir
Salah satu ciri hukum nuklir adalah tingkat ’internasionalisasi’nya yang kental, yang berarti kewajiban internasional, rekomendasi, standar dan instrumen internasional lainnya harus diperhitungkan dalam proses perumusan hukum nasional atau mempengaruhi hukum nuklir nasional dalam beberapa cara. Para legislator nasional terikat dalam berbagai bentuk kerja sama nuklir internasional dan terikat oleh berbagai kewajiban internasional di bidang nuklir. Pendekatan tersebut membutuhkan adanya aproksimasi atau harmonisasi rezim legal nasional, demi keuntungan para pemangku kepentingan penggunaan energi nuklir dan radiasi pengion, khususnya mempertimbangkan potensi yang berakibat lintas batas antar negara. Prinsip kerja sama internasional diidentifikasikan sebagai salah satu konsep dasar atau fundamental hukum nuklir.
6.2. Keselamatan Nuklir—Masalah Kepekaan Nasional
Pada level internasional, IAEA dalam program NUSS-nya yang diluncurkan pada 1974, memberikan definisi keselamatan nuklir sebagai berikut:
”Tercapainya syarat-syarat pengoperasian yang benar, pencegahan kecelakaan atau mitigasi akibat-akibat kecelakaan, yang mengharuskan perlindungan personel tapak, masyarakat umum dan lingkungan dari bahaya radiasi yang tidak diinginkan”.
Peristiwa Chernobyl telah menciptakan kesadaran pada level politis bahwa keselamatan nuklir tidak dapat sepenuhnya diletakkan pada filosofi keselamatan masing-masing individual negara. Seluruh daur bahan bakar nuklir dan khususnya seluruh usia hidup fasilitas nuklir harus dicakup dalam langkah-langkah keselamatan sebagaimana mestinya yang diterima secara internasional. Ini perlu diwujudkan dengan pemantapan suatu ’konvensi keselamatan nuklir.’
Setelah melalui perundingan yang sulit secara politis, Convention on Nuclear Safety dan the Joint Convention on the Safety of Spent Fuel Management and the Safety of Radioactive Waste Management akhirnya diadopsi. Kedua konvensi mendapatkan pijakan baru, untuk pertama kalinya prinsip-prinsip dasar tertentu keselamatan nuklir dibuat wajib di dalam kerangka teknik pengembangan aspek hukum.
6.3 Konvensi Keselamatan Nuklir
Convention on Nuclear Safety (Konvensi Keselamatan Nuklir) diadopsi di Wina pada 17 Juni 1994. Konvensi dirumuskan selama serangkaian pertemuan tingkat ahli dari 1992 hingga 1994 dan merupakan kerja menonjol oleh Pemerintah-pemerintah, Badan-badan otorita keselamatan nuklir nasional dan Sekretariat IAEA. Tujuannya untuk melibatkan secara legal partisipasi Negara-negara Pihak yang mengoperasikan PLTN untuk menjaga keselamatan tingkat tinggi dengan menetapkan standar-standar (benchmarks) internasional yang harus dianut Negara-negara Pihak. Kewajiban-kewajiban Negara Pihak didasarkan pada sejumlah besar prinsip-prinsip yang terkandung dalam dokumen Pokok-pokok Keselamatan IAEA “The Safety of Nuclear Installations”. Kewajiban-kewajiban itu mencakup misalnya tapak, desain, konstruksi, operasi, ketersediaan finansial dan sumber daya manusia, pengkajian dan verifikasi keselamatan, jaminan mutu dan kesiapan kedaruratan. Konvensi merupakan suatu instrumen pendorong. Dia tidak dirancang untuk menjamin pemenuhan kewajiban-kewajiban oleh Negara-Negara Pihak melalui kontrol dan sanksi namun didasarkan pada kepentingan bersama mereka untuk mencapai tingkat-tingkat keselamatan yang lebih tinggi yang akan dikembangkan dan dipromosikan melalui pertemuan-pertemuan regular Para Pihak. Konvensi mewajibkan Para Pihak untuk menyampaikan laporan-laporan tentang implementasi kewajiban mereka untuk ‘penilaian kelompok ahli (peer review)’ dalam pertemuan-pertemuan Para Pihak yang diselenggarakan di IAEA. Mekanisme ini merupakan elemen inovatif yang utama dan dinamis dari Konvensi.
Konvensi ini diadopsi tanggal 17 Juni 1994 di Wina, Austria, dan terbuka untuk ditandatangani 20 September 1994 serta mulai berlaku efektif pada 24 Oktober 1996. Indonesia menandatangani Konvensi ini pada tanggal 22 September 1994 dan meratifikasinya pada 4 Oktober 2001.
6.4. Konvensi Gabungan
The Joint Convention on the Safety of Spent Fuel Management and the Safety of Radioactive Waste Management (Konvensi Gabungan tentang Keselamatan Pengelolaan Bahan Bakar Bekas dan Keselamatan Pengelolaan Limbah Radioaktif) diadopsi pada Konferensi Diplomatik 5 September 1997 dan terbuka untuk ditandatangani pada Konferensi Umum IAEA 29 September pada tahun yang sama. Konvensi ini menjadi instrumen internasional pertama yang mengatur masalah keselamatan manajemen dan penyimpanan limbah radioaktif di negara-negara baik yang mempunyai program nuklir maupun yang tidak. Konvensi ini secara signifikan memperluas rezim keselamatan nuklir IAEA dan mempromosikan standar-standar Internasional untuk mengelola suatu isu yang menjadi kepedulian utama masyarakat. Konvensi berlaku pada keselamatan manajemen bahan bakar bekas, didefinisikan sebagai “semua aktivitas yang berhubungan dengan penanganan atau penyimpanan bahan bakar bekas.” Juga berlaku pada keselamatan manajemen radioaktif, didefinisikan sebagai “semua kegiatan, termasuk kegiatan dekomisioning, yang berhubungan dengan penanganan, pra-treatment, treatment, conditioning, penyimpanan, atau pembuangan limbah radioaktif”. Konvensi juga mencakup keselamatan manajemen bahan bakar bekas atau limbah radioaktif yang berasal dari program militer atau pertahanan jika dan kapan material-material tersebut ditransfer secara permanen dan dikelola di dalam program-program sipil eksklusif, atau kapan dinyatakan sebagai bahan bakar bekas atau limbah radioaktif untuk tujuan Konvensi.
Salah satu tujuan Konvensi, adalah untuk menjamin bahwa selama semua tahap dari manajemen bahan bakar bekas dan limbah radioaktif ada suatu cara pertahanan efektif terhadap bahaya potensial sedemikian hingga semua individu, masyarakat dan lingkungan terlindungi dari efek-efek berbahaya radiasi pengion, sekarang dan nanti.
Konvensi menetapkan suatu sistem pelaporan yang mengikat bagi Negara Pihak untuk mengatur semua langkah-langkah yang diambil oleh masing-masing negara untuk mengimplementasikan kewajiban-kewajiban di bawah Konvensi. Ini meliputi pelaporan terhadap timbunan-timbunan nasional limbah radioaktif dan bahan bakar bekas.
Konvensi ini telah berlaku efektif sejak 18 Juni 2001, setelah Irlandia negara ke-25 yang mendeposit instrumen ratifikasinya pada 20 Maret 2001 di Markas IAEA, Wina, Austria. Indonesia telah menandatangani Konvensi Gabungan ini pada 6 Oktober 1997, namun belum meratifikasinya.
7. KEAMANAN NUKLIR
7.1 Konvensi Proteksi Fisik
Tujuan untuk mencapai tingkat keselamatan nuklir yang tinggi di seluruh dunia harus digandakan dengan tujuan mencapai tingkat keamanan nuklir yang tinggi seluruh dunia. Keamanan nuklir akan diperkuat oleh pengembangan dan penerapan langkah-langkah yang memadai proteksi fisik terhadap pencurian atau penyimpangan bahan nuklir dan terhadap sabotase fasilitas nuklir. Proteksi fisik merupakan hal yang menjadi perhatian nasional dan internasional sejak lama, dan kepatuhan yang menyeluruh pada Convention on the Physical Protection of Nuclear Material (Konvensi Perlindungan Fisik Bahan Nuklir) memberi bukti kesungguhan negara-negara menerima kewajiban internasional di bidang ini. Penguatan terhadap keamanan nuklir menjadi fokus setelah keruntuhan Uni Soviet, ketika terjadi sejumlah kasus penyeludupan bahan nuklir dan munculnya kegiatan terorisme internasional, seperti peristiwa 11 September 2001. Ini mendesakkan perlunya penguatan rezim internasional keamanan nuklir, dengan membangun budaya keamanan sebagai aspek utama.
Konvensi ditandatangani di Wina dan New York pada 3 Maret 1980, mewajibkan Negara-negara Pihak untuk menjamin selama transportasi nuklir internasional memberikan perlindungan bahan nuklir di dalam wilayah teritorial mereka atau di atas kapal-kapal mereka atau pesawat-pesawat udara mereka.
Konferensi Peninjauan Ulang pertama diselenggarakan di Wina dari 29 September hingga 1 Oktober 1992 dan dihadiri oleh 35 Negara Pihak, dengan suara bulat menyatakan dukungan penuhnya terhadap Konvensi dan mendesak semua Negara untuk mengambil tindakan guna menjadi negara pihak pada Konvensi. Negara-negara Pihak memandang, teristimewa, bahwa Konvensi tersebut memberikan suatu kerangka kerja yang sangat sesuai bagi kerja sama internasional dalam perlindungan (proteksi), pemulihan dan pengembalian bahan nuklir yang hilang/tercuri dan dalam penerapan sanksi-sanksi kriminal terhadap orang-orang yang melakukan tindakan-tindakan kriminal yang melibatkan bahan nuklir.
Konvensi ini diadopsi tanggal 26 Oktober 1979 di Wina, Austria, dan mulai berlaku efektif pada 8 Februari 1987. Indonesia menandatangani Konvensi ini pada tanggal 3 Juli 1986 dan meratifikasinya pada 5 November 1986.
Pada 8 Juli 2005 Konvensi diamendemen, namun hingga saat ini Amandemen tersebut belum berlaku efektif seperti disebutkan di depan.
8. PERTANGGUNGAN KERUGIAN NUKLIR
Pada saat peristiwa Chernobyl, Vienna Convention on Civil Liability for Nuclear Damage 1963 (Konvensi Wina tentang Pertanggungan Perdata Kerugian Nuklir) telah berlaku sejak 1977 dan Paris Convention 1960/1964/1982 berlaku sejak 1968 dan 1985. Namun kedua rezim pertanggungan tersebut tidak dapat digunakan untuk memberi kompesasi pada para korban. Uni Soviet bukan negara pihak pada salah satu konvensi, dan belum mempunyai legislasi pertanggungan nuklir nasionalnya. Hikmah yang didapat dari peristiwa itu adalah bahwa menetapkan rezim hukum pertanggungan nuklir tidaklah cukup. Perlu usaha-usaha politis tambahan untuk meyakinkan negara-negara untuk mengadopsinya. Hingga saat ini masih tampak bahwa negara-negara belum sepenuhnya memahami pelajaran ini karena rezim pertanggungan nuklir global belumlah tercapai secara penuh.
Peristiwa kecelakaan dapat tidak hanya berdampak di negara bersangkutan, tapi dapat juga pada negara tetangga bahkan yang lebih jauh, sehingga memicu pembicaraan seluruh dunia tentang kepantasan skema pertanggungan nuklir yang ada.
Dalam periode dari 1988 hingga 2004, perundingan-perundingan berlangsung untuk mempertimbangkan pengalaman Chernobyl dan untuk memperkuat hukum pertanggungan nuklir internasional. Dimulai dengan perumusan dan pengadopsian the Joint Protocol Relating in the Application of the Vienna Convention and the Paris Convention, dilanjutkan dengan perumusan dan pengadopsian Revision Protocol to the Vienna Convention dan Convention on Supplementary Compensation dari 1989 hingga 1997 di Wina, serta perumusan dan pengadopsian Revision Protocols to the Paris Convention dan Brussels Supplementary Convention dari 1998 hingga 2004 di Paris.
Dalam bulan September 1997, pemerintah mengambil langkah maju yang sangat berarti dalam penyempurnaan rezim pertanggungan kerugian nuklir. Pada Konferensi Diplomatik di Markas Besar IAEA, Wina, 8-12 September 1997, delegasi dari lebih 80 negara mengadopsi Protocol to Amend the 1963 Vienna Convention on Civil Liability for Nuclear Damage (Protokol untuk Amandemen Konvensi Wina 1963 tentang Pertanggungan Perdata Kerugian Nuklir) dan juga mengadopsi Convention on Supplementary Compensation for Nuclear Damage (Konvensi tentang Kompensasi Pelengkap untuk Kerugian Nuklir). Protokol menetapkan batas ganti rugi yang mungkin oleh operator tidak kurang dari 300 juta SDR (Special Drawing Right) (kurang lebih setara dengan 400 juta dollar Amerika). Sementara Konvensi tentang Kompensasi Pelengkap untuk Kerugian Nuklir menetapkan jumlah tambahan yang harus disediakan melalui kontribusi Negara-negara Pihak yang didasarkan pada kapasitas nuklir terpasang dan nilai kajian PBB.
Konvensi merupakan suatu instrumen terhadap mana semua negara harus mematuhinya tanpa memandang apakah mereka merupakan negara pihak pada konvensi pertanggungan nuklir yang ada atau mempunyai instalasi nuklir di dalam wilayah kedaulatan mereka atau tidak. Protokol mengandung antara lain suatu definisi yang lebih baik tentang kerugian nuklir (kini juga mencakup konsep kerusakan lingkungan dan langkah-langkah pencegahan), memperluas cakupan geografis Konvensi Wina, dan memperpanjang periode selama mana klaim dapat dilakukan atas kehilangan jiwa dan cacat yang diderita.
Konvensi juga melengkapi yurisdiksi negara-negara pantai terhadap tindakan-tindakan yang mendatangkan kerugian nuklir selama transportasi. Dilakukan secara bersama, kedua instrumen tersebut secara substansial hendaknya memperkuat kerangka kerja global terhadap kompensasi lebih baik dari yang diperkirakan oleh Konvensi-konvensi sebelumnya.
Sebelum aksi September 1997, rezim pertanggungan internasional diatur terutama dalam dua instrumen, yaitu: Konvensi Wina 1963 dan Konvensi Paris 1960 yang disatukan oleh Protokol Gabungan (the Joint Protocol) yang diadopsi pada 1988. Konvensi Paris kelak diperkuat dengan Konvensi Brussels 1963 tentang Pelengkap (the 1963 Brussels Supplementary Convention). Konvensi-konvensi ini didasarkan pada konsep hukum perdata dan menganut prinsip-prinsip utama berikut, antara lain:
a. Pertanggungan secara ekslusif disalurkan ke operator instalasi nuklir.
b. Pertanggungan operator adalah mutlak, yaitu operator harus memikul pertanggungan tanpa memandang kesalahan.
c. Pertanggungan adalah terbatas dalam jumlah.
d. Pertanggungan adalah terbatas dalam waktu.
e. Operator harus menjaminkan suatu asuransi.
f. Yurisdiksi atas tindakan secara eksklusif berada pada pengadilan Negara Pihak yang mempunyai wilayah di mana kecelakaan nuklir terjadi.
g. Non-diskriminasi korban atas dasar kebangsaan, domisili, dan tempat tinggal.
Menyusul kecelakaan Chernobyl, IAEA memprakarsai pekerjaan pada semua aspek pertanggungan nuklir dengan suatu pandangan untuk menyempurnakan Konvensi-konvensi dasar dan menetapkan suatu rezim pertanggungan yang komprehensif. Pada 1988, sebagai hasil usaha bersama IAEA dan OECD/NEA, sebuah Protokol Gabungan yang Menghubungkan Aplikasi Konvensi Wina dan Konvensi Paris (the Joint Protocol Relating to the Application of the Vienna Convention and the Paris Convention) berhasil diadopsi. Protokol Gabungan menetapkan suatu hubungan (link) antara Konvensi-konvensi tersebut yang menggabungkan mereka kedalam satu rezim pertanggungan yang diperluas. Pihak pada Protokol Gabungan diperlakukan seakan-akan mereka adalah Pihak pada kedua Konvensi dan pilihan aturan hukum disediakan untuk menentukan yang mana dari dua Konvensi tersebut yang harus berlaku dengan mengenyampingkan yang lain dalam hal kecelakaan yang sama.
Konvensi Wina tentang Pertanggungan Perdata Kerugian Nuklir diadopsi tanggal 21 Mei 1963 di Wina, Austria, dan mulai berlaku efektif pada 12 November 1977. Indonesia pada tanggal 6 Oktober 1997 telah menandatangani Protokol dan Konvensi yang terkait dengan Konvensi Wina ini, yaitu: Protocol to Amend the 1963 Vienna Convention on Civil Liability for Nuclear Damage dan Convention on Supplementary Compensation for Nuclear Damage (Konvensi tentang Kompensasi Pelengkap untuk Kerugian Nuklir) setelah keduanya terbuka ditandatangani pada 29 September 1997, namun belum meratifikasi keduanya.
9. PENUTUP
Peristiwa Chernobyl merupakan pukulan pada promosi pembangkitan listrik dengan nuklir. Namun, peristiwa itu juga membawa perubahan-perubahan besar dalam pendekatan terhadap keselamatan nuklir, termasuk pengembangan apa yang dinamakan dengan ‘budaya keselamatan nuklir’ internasional yang didasarkan pada review dan perbaikan secara konstan, analisis ketat pengalaman pengoperasian, dan saling membagi praktek terbaik secara konsisten. Budaya keselamatan ini telah ditunjukkan keefektifannya selama dua dasawarsa terakhir.
Sebagaimana halnya dengan teknologi penerbangan, rekayasa genetika atau teknologi maju lainnya, teknologi nuklir tidak hadir dengan jaminan keselamatan mutlak. Apa yang terpenting adalah pemahaman secara jelas terhadap risiko dan manfaatnya.
Peristiwa tersebut membangunkan masyarakat nuklir internasional dan membawa pada era baru kerja sama nuklir internasional. Masyarakat internasioanal dalam usahanya menyembuhkan kekhawatiran umum dan dunia politik terhadap penggunaan atom sebagai sumber energi yang layak, berupaya membangun kembali kepercayaan dalam keselamatan energi nuklir, terutama melalui IAEA, dengan mengkaji kelemahan-kelemahan yang ada di dalam kerangka legal internasional yang ada.
Isu paling kritis adalah dukungan masyarakat, yang merupakan kunci bagi masa depan nuklir. Pemahaman masyarakat atas kontribusi Iptek Nuklir bagi kemanusiaan telah terbukti sebagai faktor krusial bagi nasib baik tenaga nuklir. Namun masih banyak kekurangpahaman masyarakat dan kurangnya pengetahuan tentang radiasi dan iptek nuklir. Hal ini tidaklah mengherankan, karena iptek nuklir merupakan subyek yang kompleks. Meskipun demikian, kompleksitas tersebut hendaknya tidak berakibat adanya salah persepsi yang berkelanjutan. Pemahaman masyarakat merupakan syarat bagi penerimaannya. Dan penerimaan masyarakat merupakan kunci yang akan memungkinkan nuklir mewujudkan apa yang oleh pengamat yang telah terdidik melihatnya sebagai potensialnya yang luar biasa. Kunci terhadap proses ini adalah budaya baru tentang keterbukaan, transparasi dan obyektivitas.
UU No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran bahwa pemanfaatan tenaga nuklir terkait erat dengan kemaslahatan kehidupan dan keselamatan manusia yang ditujukan sepenuhnya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang dilaksanakan secara tepat dan hati-hati serta untuk tujuan damai.
Sifat damai dan mulia dari pemanfaatan tenaga nuklir juga tertuang secara jelas dalam Anggaran Dasar Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) dan dijabarkan dalam berbagai perjanjian internasional berupa Traktat, Konvensi, Protokol dan Perjanjian Internasional lainnya sebagai instrumen/dasar hukum bagi setiap kegiatan dan tindakan yang berkaitan dengan penggunaan tenaga nuklir untuk tujuan damai.
Keberadaan instrumen Internasional tersebut telah mendorong percepatan dan promosi penggunaan tenaga nuklir dalam berbagai bidang aplikasi dewasa ini untuk perdamaian dan kesejahteraan umat manusia.
Pemahaman yang utuh pada promosi nuklir tujuan damai hendaknya meliputi semua aspeknya berupa aspek teknis, aspek legal, aspek geostrategi (geopolitik & geoekonomi), aspek filosofi kesejarahan, dimana pemahaman ini selanjutnya dapat dikomunikasikan kepada semua pemangku kepentingan agar promosi pemanfaatan nuklir tujuan damai mencapai sasaran sesuai harapan.
Untuk itu hendaknya Iptek nuklir dapat dikomunikasikan dan disosialisasikan sesuai paradigma tersebut dengan semua aspeknya termasuk di dalamnya aspek perjanjian Internasional yang mengaturnya. (Yaziz Hasan)