Perjanjian Internasional Ketenaganukliran Pada Penggunaan Nuklir Tujuan Damai

1. PENDAHULUAN

1.1 Sifat Internasional Nuklir

Dari permulaan, pengembangan energi nuklir telah bersifat internasional, lahir dari laboratorium-laboratorium riset yang tersebar luas, sebagai gagasan dan hasil kerja para ilmuwan di satu negara yang memicu rekan-rekannya di lain negara.
Pada 1920-an dan 1930-an fisikawan dan kimiawan terkemuka Eropa dan AS secara gradual menyingkap struktur unsur-unsur dan dinamika inti atomnya dan partikel-partikel subatomik.

1.2 Pengontrolan Nuklir

Pada 15 November 1945, Presiden AS H. Truman, PM Inggris Atlee, PM Kanada Mackenzie King, bertemu di Washington dan menghasilkan suatu persetujuan ”Three Nation Agreed Declaration on Atomic Energy” yang mengindikasikan kerelaan mereka memberikan informasi nuklir untuk tujuan damai kepada pihak lain dengan syarat menerima safeguard terhadap penggunaan bukan untuk tujuan damai. Mereka menyarankan kepada PBB yang baru saja lahir untuk menangani masalah nuklir. Segera setelah itu, pada 27 Desember 1945, pada pertemuan Dewan Menlu di Moskow, AS dan Inggris mengusulkan dan Uni Soviet menyetujuinya, bahwa suatu Komisi Tenaga Atom PBB (UNAEC) harus dibentuk untuk menangani masalah-masalah yang timbul dari penemuan tenaga atom dan masalah yang terkait dengannya. Soviet menekankan bahwa kerja UNAEC harus atas dasar arahan Dewan Keamanan, AS dan Inggris menerima syarat itu.
Pada 1945 hanya satu negara yang memiliki infrastruktur industri yang masif, kekayaan, bahan dan konsentrasi keahlian ilmiah dari Eropa dan AS yang diperlukan untuk membuat senjata nuklir. Namun keunggulan ini akan tergerus waktu dan negara lain juga bergerak memasuki era nuklir.
Pada September 1949, Soviet melakukan uji coba ledakan nuklir yang pertama, sesuatu yang mengejutkan pejabat AS termasuk Jenderal Leslie R. Groves, penggerak utama Proyek Manhattan. Mereka sebelumnya mengira perlu 20 tahun bagi Soviet untuk menjadi negara bersenjata nuklir kedua di dunia.
Inggris menjadi yang ketiga pada Oktober 1952.
Sekali terobosan ilmiah dan teknis pada senjata nuklir dicapai dan menjadi milik publik, replikasi peranti tersebut sebagian besar hanya masalah rekayasa belaka. Dan negara-negara lain berlumba mengembangkan teknologi tersebut, yang lebih banyak karena pertimbangan politik, ketimbang teknis semata.

1.3. Atoms for Peace

Akhir monopoli nuklir AS, jalan buntu di PBB dan peningkatan ketegangan Perang Dingin akhirnya memupuskan harapan adanya dunia yang bebas dari senjata nuklir. Namun, Eisenhower ditakdirkan untuk menawarkan jalan keluar dari situasi tanpa harapan tersebut.
Pada Januari 1953, Eisenhower menggantikan Truman dan pada 5 Maret 1953 Stalin wafat. Saat itu monopoli AS terhadap penggunaan teknologi nuklir untuk tujuan sipil dan militer mulai tersaingi dan perusahaan-perusahaan AS khawatir kehilangan pasar kepada Inggris dan Kanada. Para pembuat kebijakan di AS dan sekutunya juga menyimpulkan perlunya melanjutkan pembicaraan perlucutan senjata nuklir.
Kekhawatiran memuncak ketika 12 Agustus 1953 Soviet meledakkan apa yang diyakini AS sebagai bom hidrogen. Kekhawatiran ini mengubah kebijakan nuklir AS, selain dorongan privatisasi nuklir di kalangan internal AS sendiri.
Itu terjadi pada September 1953 ketika Eisenhower sampai pada gagasan yang menjadi inti dari pidato ’Atoms for Peace’-nya di depan MU PBB pada 8 Desember tahun itu, bahwa bahan-bahan fisil negara-negara bersenjata nuklir hendaknya dikumpulkan dalam suatu lumbung bersama yang akan digunakan oleh semua bangsa untuk tujuan damai. Gagasan lumbung (atau bank) bersama tersebut dipandang sebagai pendekatan baru dan evolusioner terhadap perlucutan senjata, sebagai alat pembangun kepercayaan antara blok Timur dan Barat, dan sebagai jalan menuju adanya suatu badan internasional yang akan mempromosikan pemanfaatan nuklir tujuan damai (sipil).
Pada permulaan Desember 1953, Eisenhower bertemu Churchill di Bermuda dan memperlihatkan draf pidato tersebut kepadanya, yang disambut hangat Churchill. Dan saat disampaikan dihadapan Majelis, pidato tersebut disambut secara antusias. Setahun kemudian, pada 4 Desember 1954, disahkanlah secara bulat pendirian badan baru.

1.4. Pembentukan IAEA

Setelah melalui serangkaian perundingan baik bilateral maupun multilateral proses perumusan, berlangsung selama 1954 sampai 1956, Statuta (sebanyak 23 pasal) akhirnya dapat difinalisasi dan ditandatangani oleh 81 negara, termasuk Indonesia, pada Oktober 1956 di New York. Setahun kemudian pada Juli 1957, Statuta tersebut dinyatakan mulai berlaku efektif, setelah proses ratifikasi beberapa negara dan dinyatakan sebagai hari lahirnya IAEA. Indonesia meratifikasinya dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1957.
Selama bertahun-tahun, Indonesia telah menjadi mitra suportif dan penerima bantuan IAEA.
Tujuan IAEA sebagaimana dinyatakan dalam Statutanya adalah mempercepat dan memperbesar sumbangan tenaga atom pada perdamaian, kesehatan dan kemakmuran di seluruh dunia. Sejauh disanggupi, perlu dijamin bahwa bantuan yang diberikan atau dimintakan atau di bawah pengawasan atau kontrolnya tersebut tidak digunakan untuk tujuan militer.
Secara ringkas, Statuta IAEA menggariskan tiga pilar: Safeguards & Verification, Safety & Security dan Kerja sama Internasional Tranfer Teknologi.

2. PERJANJIAN INTERNASIONAL KETENAGANUKLIRAN

2.1 Infrastruktur untuk mendukung Program Nuklir

Bagi negara yang ingin masuk arena nuklir, tantangan terbesar sering terkait dengan infrastruktur yang diperlukan untuk mendukung program tersebut.
Infrastuktur yang diperlukan, sesuai panduan IAEA, antara lain meliputi partisipasi pada traktat dan konvensi internasional, dan kerangka legal nuklir dan regulasi nuklir nasional.
Introduksi program nuklir memerlukan komitmen jangka panjang, baik secara nasional maupun internasional. Kerangka waktu sedikitnya 100 tahun haruslah diperhitungkan, dengan 10-15 tahun perioda implementasi awal. Poin-poin kunci yang harus dipahami dalam rangka komitmen tersebut antara lain meliputi perlunya jaminan keselamatan, keamanan dan non-proliferasi bahan nuklir, perlunya bergabung dengan traktat dan konvensi internasional yang sesuai serta perlunya mengembangkan kerangka legal yang komprehensif yang mencakup semua aspek hukum nuklir tentang keselamatan, keamanan dan pertanggungan ganti rugi nuklir serta aspek legislatif, pengawasan dan komersial.
Kerangka instrumen internasional yang relevan dengan maksud tersebut dapat dilihat dalam Tabel 1

Table 1. Instrumen Internasional Relevan

Comprehensive Safeguards Agreement (INFCIRC/153 Corr.)
Additional Protocol pursuant to INFCIRC/540 (Corr.)
Convention on Early Notification of a Nuclear Accident (INFCIRC/335)
Convention on Assistance in the Case of a Nuclear Accident or Radiological Emergency (INFCIRC/336)
Convention on Nuclear Safety (INFCIRC/449)
Joint Convention on the Safety of Spent Fuel Management and on the Safety of
Radioactive Waste Management (the ‘Joint Convention’), INFCIRC/546
Convention on the Physical Protection of Nuclear Material (INFCIR/274) dan Amendmentnya
Vienna Convention on Civil Liability for Nuclear Damage (INFCIRC/500)
Joint Protocol Relating to the Application of the Vienna Convention and the Paris Convention, INFCIRC/402
Protocol to Amend the 1963 Vienna Convention on Civil Liability for Nuclear Damage
Convention on Supplementary Compensation for Nuclear Damage
Revised Supplementary Agreement concerning the provision of Technical Assistance by the IAEA

3. SISTEM SAFEGUARD
3.1 Traktat Non-Proliferasi Senjata Nuklir
Sejak 1960-an, sistem safeguard (pengawasan) internasional IAEA merupakan komponen sentral dalam mengontrol penyebaran nuklir. Di bawah ketentuan-ketentuan dari persetujuan-persetujuan yang dicapai IAEA dengan negara-negara penandatangan, para inspektur (pengawas) IAEA secara teratur mengunjungi fasilitas-fasilitas nuklir untuk memverifikasi rekaman-rekaman yang dilakukan otorita negara bersangkutan tempat di mana bahan nuklir berada, mencek peralatan dan perlengkapan pengawasan yang dipasang IAEA, dan mengkonfirmasi penyimpanan fisik bahan-bahan nuklir. Mereka kemudian membuat laporan-laporan rinci kepada negara yang ditinjau dan kepada IAEA.
Safeguard merupakan peraturan teknis verifikasi yang sesuai dengan kewajiban-kewajiban legal yang relevan dengan penggunaan energi nuklir tujuan damai. Tujuannya adalah politis, yaitu untuk menjamin masyarakat internasional akan sifat damai kegiatan nuklir yang disafeguard dan untuk menghalangi penyimpangan atau penyalahgunaan bahan-bahan atau fasilitas-fasilitas yang disafeguard melalui deteksi dini.
Persetujuan-persetujuan legal merupakan basis safeguard IAEA, yang antara lain secara popular banyak dikenal sebagai persetujuan-persetujuan skop-penuh (full-scope agreements) karena mencakup pada semua aktivitas dan bahan-bahan nuklir tujuan damai di negara terkait. Ini terutama terkait dengan Traktat Non-Proliferasi Senjata Nuklir (NPT) dan Traktat Pelarangan Senjata Nuklir untuk kawasan regional seperti Traktat Tlateloco (Amerika Latin), Traktat Rarotonga (Pasifik Selatan) dan Traktat Bangkok (ASEAN).
Indonesia menandatangani persetujuan safeguard dengan IAEA dalam kaitan dengan NPT pada 14 Juli 1980, dua tahun setelah Pemerintah Indonesia meratifikasi NPT melaui UU No. 8 Tahun 1978.
Traktat Non-Proliferasi Senjata Nuklir (Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons-NPT) merupakan traktat internasional yang bertujuan untuk mencegah penyebaran senjata nuklir dan teknologi senjata nuklir, mendorong perkembangan penggunaan energi nuklir untuk maksud damai, dan memajukan tujuan mencapai perlucutan secara umum dan menyeluruh. Traktat menetapkan suatu sistem pengamanan (safeguards system) di bawah tanggung jawab IAEA, yang juga memainkan peran sentral di bawah Traktat dalam bidang-bidang transfer teknologi untuk maksud-maksud damai.
Traktat ini diadopsi tanggal 12 Juni 1968 di New York, dan mulai berlaku efektif pada 5 Maret 1970. Indonesia menandatangani Traktat ini pada 2 Maret 1970 dan meratifikasinya pada 25 Nopember 1978. Telah 187 negara yang menjadi negara pihak dalam NPT.

3.2 Additional Protocol to Safeguards
Perkembangan lebih lanjut dalam energi nuklir dan adanya beberapa negara yang menyimpang dari ketentuan safeguard (seperti Irak dan Korea Utara) telah mendorong perlunya penguatan dan penyempurnaan sistem safeguard dengan dihasilkannya Additional Protocol terhadap persetujuan safeguard. Indonesia, yang telah menjadi negara pihak pada Persetujuan Safeguard dengan IAEA, kemudian menandatangani Addional Protocol ini pada 29 September 1999. Dengan telah ditandatanganinya Additional Protocol tersebut, Indonesia mempunyai kewajiban untuk membuat laporan triwulan dan laporan tahunan kepada IAEA tentang fasilitas, potensi tambang, kegiatan dan program nuklirnya.

4. HIKMAH PERISTIWA CHERNOBYL

Sejak promosi nuklir tujuan damai, pengembangan nuklir berpacu dalam laju yang cepat, banyak negara mulai meluncurkan program litbang nuklirnya untuk kepentingan pembangunan nasional masing-masing, termasuk Indonesia, yang sedari awal telah berpartisipasi dan mengikutinya dengan membentuk badan serupa pada level nasional, Lembaga Tenaga Atom (kelak pada 1965 menjadi Badan Tenaga Atom Nasional [BATAN]) pada 1958.
Antusiasme begitu tinggi terhadap nuklir hingga akhir 1980-an dan perkembangan tampaknya memasuki masa-masa keemasan. Namun peristiwa Three Mile Island 1979 dan Chernobyl 1986, telah membawa keadaan stagnan di Barat, laju pembangunan pembangkit listrik mengalami pelambatan, kecuali di Asia.
Peristiwa Chernobyl yang terjadi 25-26 April 1986 telah memicu suatu tindakan segera yang berkelanjutan dan komprehensif dari masyarakat Internasional yang menghasilkan sejumlah instrumen internasional baru yang ditujukan untuk menghindari atau mengatasi kelemahan rezim hukum internasional pra-1986 yang terbukti tidak berjalan efektif:
26 September 1986: adopsi the Convention on Early Notification of a Nuclear Accident;
26 September 1986: adopsi the Convention on Assistance in the Case of Nuclear Accident or Radiological Emergency ;
21 September 1988: adopsi the Joint Protocol Relating in the Application of the Vienna Convention and the Paris Convention;
17 Juni 1994: adopsi the Convention on Nuclear Safety;
5 September 1997: adopsi the Joint Convention on the Safety of Spent Fuel Management and the Safety of Radioactive Waste Management;
12 September 1997: adopsi the Protocol to Amend the 1963 Vienna Convention on Civil Liability for Nuclear Damage;
12 September 1997: adopsi the Convention on Supplementary Compensation for Nuclear Damage;
12 Februari 2004: adopsi the Protocol to Amend the Convention on Third Party Liability in the Field of Nuclear Energy of 29 July 1960, as Amendedby the Additional Protocol of 28 January 1964 and by the Protocol of 16 November 1982;
12 Februari 2004: adopsi the Protocol to Amend the Convention of 31 January 1963 Supplementary to the Paris Convention of 29 July 1960 on Third Party Liability in the Field of Nuclear Energy, as Amended by the Additional Protocol of 28 January 1964 and by the Protocol of 16 November 1982;
8 Juli 2005: adopsi the Amendment to the Convention on the Physical Protection of Nuclear Material.

Semua traktat yang diterakan di atas adalah instrument internasional multilateral dan bersifat mengikat, yang hampir semuanya telah berlaku efektif, dengan kekecualian Convention on Supplementary Compensation for Nuclear Damage 1997; Protocols to Amend the Paris and the Brussel Conventions 2004 dan Amendment to the Convention on the Physical Protection of Nuclear Material 2005. Kendati Amendment to the Convention on the Physical Protection of Nuclear Material 2005 mungkin tidak harus dikualifikasikan sebagai reaksi langsung terhadap peristiwa Chernobyl karena dia dirancang untuk mengantisipasi peningkatan ancaman terorisme, instrumen ini tetap dihitung dalam pengertian ini. Ada bidang antarmuka antara keselamatan dan keamanan yang memerlukan perhatian. Langkah-langkah proteksi fisik, sebagai efek samping, memperkuat keselamatan nuklir dan sebaliknya. Sebagai akibatnya, Convention on the Physical Protection of Nuclear Material merupakan bagian dari apa yang disebut Keluarga Konvensi Keselamatan Nuklir, anggota lainnya adalah the Convention on Early Notification of a Nuclear Accident; the Convention on Assistance in the Case of Nuclear Accident or Radiological Emergency, the Convention on Nuclear Safety, dan the Joint Convention on the Safety of Spent Fuel Management and the Safety of Radioactive Waste Management.
Di samping traktat internasional yang mengikat tersebut di atas, berbagai instrumen internasional tidak mengikat juga telah dikembangkan sejak 1986, sebagai kelanjutan usaha yang telah ada sejak pendirian IAEA dan organisasi kompeten lainnya. Khususnya, berupa rekomendasi-rekomendasi teknis dalam bidang keselamatan nuklir, proteksi radiasi dan transportasi dengan memperbarui rekomendasi yang telah ada atau yang sama sekali baru dikembangkan. Ini dikembangkan oleh kelompok ahli INSAG dan dipublikasikan oleh IAEA.
Salah satu yang terpenting adalah ”Code of Conduct on the Safety of Research Reactors” yang diadopsi Dewan Gubernur IAEA pada 8 Maret 2004. Lingkup aplikasi Konvensi Keselamatan Nuklir 1994 diketahui terbatas hanya untuk PLTN sipil yang berada di darat dan sebagai akibatnya, sebagian besar reaktor riset di seluruh dunia tidak dicakup di dalamnya. Pengecualian ini bersifat politis, salah satunya karena reaktor-reaktor riset sering berfungsi ganda (dual-purpose). Instrumen Code of Conduct tidak mengikat menawarkan kompromi untuk juga menarik negara-negara agar sudi menjadikan reaktor-reaktor riset mereka sebagai subyek rezim internasional yang mengikat. Kode tersebut merupakan komplemen penting terhadap Convention on Nuclear Safety.
Code of Conduct lainnya adalah ”Code of Conduct on the Safety and Security of Radioactive Sources” yang disetujui oleh Dewan Gubernur IAEA pada 8 September 2003. Sumber-sumber radioaktif bukan merupakan bagian dari daur bahan bakar nuklir, yang berarti tidak ada kaitan langsung dengan peristiwa Chernobyl. Di lain pihak sumber-sumber radioaktif secara berulang telah dimasukkan dalam kecelakaan radiasi utama, yang paling terkenal adalah peristiwa Goiania (Brazil) 1987. Skenerionya mirip dengan skenario setelah Chernobyl meski pada level risiko lebih rendah. Karena, terkait dengan sumber radioaktif, masih ada ketimpangan dalam rezim legal pada level nasional dan internasional, situasi ini juga memerlukan tindakan internasional. Code of Conduct ini merupakan respons terhadap tantangan ini.

5. TANGGAP DARURAT INTERNASIONAL

5.1. Pemberitahuan Dini

Convention on Early Notification of a Nuclear Accident (Konvensi Pemberitahuan Dini Terjadinya Kecelakaan Nuklir) menetapkan suatu sistem pemberitahuan dini atas terjadinya kecelakaan nuklir yang mempunyai potensi pelepasan bahan-bahan radioaktif yang melintasi batas-batas Internasional antar negara yang mempunyai dampak keselamatan radiologis bagi Negara lain. Konvensi mewajibkan Negara yang mengalami kecelakaan nuklir untuk melaporkan waktu, lokasi, tingkat pelepasan radiasi, dan data esensial lainnya guna keperluan pengkajian situasi. Pemberitahuan diberikan kepada Negara-negara yang bakal terkena dampak yang dapat disampaikan secara langsung atau melalui IAEA, dan kepada IAEA itu sendiri. Pelaporan adalah wajib bagi setiap kecelakaan nuklir yang meliputi fasilitas dan aktivitas berikut: setiap reaktor nuklir di manapun berada; setiap fasilitas daur bahan bakar nuklir; setiap fasilitas pengelolaan limbah radioaktif; transportasi dan penyimpanan bahan bakar nuklir atau limbah radioaktif; manufaktur, penggunaan, penyimpanan, pembuangan dan transportasi radioisotop bagi keperluan pertanian, industri, kedokteran, dan penelitian serta ilmiah yang terkait; dan penggunaan radioisotop untuk pembangkitan daya di wahana-wahana ruang angkasa. Pemberitahuan dan Informasi juga harus diberikan dalam hal terjadi kecelakaan nuklir selain yang dinyatakan di atas, guna meminimalkan konsekuensi-konsekuensi radiologis.
Lima negara bersenjata nuklir (Amerika, Cina, Inggeris, Perancis dan Rusia) semuanya telah menyatakan kerelaan mereka untuk melaporkan setiap kecelakaan nuklir yang melibatkan senjata dan uji coba senjata nuklir.
Konvensi ini diadopsi tanggal 26 September 1986 di Wina, Austria, dan mulai berlaku efektif pada 27 Oktober 1986. Indonesia menandatangani Konvensi ini bersamaan dengan tanggal diadopsinya Konvensi dan meratifikasinya pada 1 September 1993.

5.2. Bantuan Kedaruratan

Convention on Assistance in the Case of Nuclear Accident or Radiological Emergency (Konvensi Pemberian Bantuan dalam Hal Terjadinya Kecelakaan Nuklir atau Kedaruratan Radiologis) merupakan saudara kembar dari Convention on Early Notification of a Nuclear Accident. Konvensi menetapkan suatu kerangka kerja internasional bagi kerja sama di antara Negara-negara Pihak dan dengan IAEA untuk memfasilitasi bantuan dan dukungan segera dalam peristiwa kecelakaan nuklir ataupun kedaruratan nuklir. Negara-Negara Pihak wajib memberitahu IAEA tentang ketersediaan ahli (expert), perlengkapan, dan bahan-bahan lain yang mereka miliki guna pemberian bantuan. Atas permintaan, tiap Negara Pihak memutuskan apakah ia dapat menyumbang bantuan yang di minta juga lingkup dan syarat-syaratnya. Bantuan dapat ditawarkan tanpa biaya yang diperhitungkan antara lain keperluan negara-negara berkembang dan khususnya keperluan negara-negara tanpa fasilitas nuklir. IAEA bertindak sebagai pusat koordinasi (focal point) bagi kerja sama tersebut dengan cara meneruskan/menyalurkan informasi, usaha-usaha bantuan/dukungan, dan memberikan jasa-jasa yang ada.
Konvensi ini diadopsi tanggal 26 September 1986 di Wina, Austria, dan mulai berlaku efektif pada 27 Oktober 1986. Indonesia menandatangani Konvensi ini bersamaan dengan tanggal diadopsinya Konvensi dan meratifikasinya pada 1 September 1993.

6. KESELAMATAN NUKLIR

Dalam pengertian sempit keselamatan nuklir merujuk pada penanganan yang berkaitan dengan daur bahan bakar nuklir, dan keselamatan radiasi berkaitan dengan risiko-risiko yang mungkin timbul dari penggunaan radiasi pengion, termasuk penggunaan radioisotop dan radiasi dalam kedokteran, industri dan berbagai bidang lainnya. Manajemen limbah secara serupa berkaitan dengan risiko-risiko yang timbul dari limbah radioaktif termasuk penyimpanan dan pembuangannya. Namun dalam konteks ini ’keselamatan nuklir’ digunakan sebagai payung yang mencakup semua aktivitas tersebut.
Dari permulaannya, fungsi IAEA terkait dengan keselamatan nuklir dan radiasi serta manajemen limbah nuklir dan radioaktif lainnya, yang menurut Statutanya, menjangkau kategori luas berikut:

Dukungan terhadap litbang (misalnya, efek radiasi dan perilaku radionuklida pada lingkungan);

Menetapkan standar, regulasi, petunjuk pelaksanaan, panduan, dan lain-lain yang berkaitan dengan daur bahan nuklir dan limbah radioaktif secara komprehensif;

Membantu negara anggotanya, khususnya negara berkembang, memperkuat infrastruktur nasionalnya yang berkaitan dengan keselamatan nuklir, keselamatan radiasi dan pengelolaan limbah radioaktif;

Mempromosikan konvensi-konvensi Internasional yang mengikat tentang keselamatan nuklir, pemberitahuan dini terjadinya kecelakaan nuklir, pemberian bantuan pada peristiwa kedaruratan nuklir/radiologis, pengelolaan limbah radioaktif, pertanggungan pihak ketiga dalam kasus terjadinya kecelakaan nuklir, pertanggungan operasi kapal-kapal nuklir, dan proteksi fisik bahan dan fasilitas nuklir dari tindakan kriminal.

6.1. Internasionalisasi Hukum Nuklir

Salah satu ciri hukum nuklir adalah tingkat ’internasionalisasi’nya yang kental, yang berarti kewajiban internasional, rekomendasi, standar dan instrumen internasional lainnya harus diperhitungkan dalam proses perumusan hukum nasional atau mempengaruhi hukum nuklir nasional dalam beberapa cara. Para legislator nasional terikat dalam berbagai bentuk kerja sama nuklir internasional dan terikat oleh berbagai kewajiban internasional di bidang nuklir. Pendekatan tersebut membutuhkan adanya aproksimasi atau harmonisasi rezim legal nasional, demi keuntungan para pemangku kepentingan penggunaan energi nuklir dan radiasi pengion, khususnya mempertimbangkan potensi yang berakibat lintas batas antar negara. Prinsip kerja sama internasional diidentifikasikan sebagai salah satu konsep dasar atau fundamental hukum nuklir.

6.2. Keselamatan Nuklir—Masalah Kepekaan Nasional

Pada level internasional, IAEA dalam program NUSS-nya yang diluncurkan pada 1974, memberikan definisi keselamatan nuklir sebagai berikut:
”Tercapainya syarat-syarat pengoperasian yang benar, pencegahan kecelakaan atau mitigasi akibat-akibat kecelakaan, yang mengharuskan perlindungan personel tapak, masyarakat umum dan lingkungan dari bahaya radiasi yang tidak diinginkan”.
Peristiwa Chernobyl telah menciptakan kesadaran pada level politis bahwa keselamatan nuklir tidak dapat sepenuhnya diletakkan pada filosofi keselamatan masing-masing individual negara. Seluruh daur bahan bakar nuklir dan khususnya seluruh usia hidup fasilitas nuklir harus dicakup dalam langkah-langkah keselamatan sebagaimana mestinya yang diterima secara internasional. Ini perlu diwujudkan dengan pemantapan suatu ’konvensi keselamatan nuklir.’
Setelah melalui perundingan yang sulit secara politis, Convention on Nuclear Safety dan the Joint Convention on the Safety of Spent Fuel Management and the Safety of Radioactive Waste Management akhirnya diadopsi. Kedua konvensi mendapatkan pijakan baru, untuk pertama kalinya prinsip-prinsip dasar tertentu keselamatan nuklir dibuat wajib di dalam kerangka teknik pengembangan aspek hukum.

6.3 Konvensi Keselamatan Nuklir
Convention on Nuclear Safety (Konvensi Keselamatan Nuklir) diadopsi di Wina pada 17 Juni 1994. Konvensi dirumuskan selama serangkaian pertemuan tingkat ahli dari 1992 hingga 1994 dan merupakan kerja menonjol oleh Pemerintah-pemerintah, Badan-badan otorita keselamatan nuklir nasional dan Sekretariat IAEA. Tujuannya untuk melibatkan secara legal partisipasi Negara-negara Pihak yang mengoperasikan PLTN untuk menjaga keselamatan tingkat tinggi dengan menetapkan standar-standar (benchmarks) internasional yang harus dianut Negara-negara Pihak. Kewajiban-kewajiban Negara Pihak didasarkan pada sejumlah besar prinsip-prinsip yang terkandung dalam dokumen Pokok-pokok Keselamatan IAEA “The Safety of Nuclear Installations”. Kewajiban-kewajiban itu mencakup misalnya tapak, desain, konstruksi, operasi, ketersediaan finansial dan sumber daya manusia, pengkajian dan verifikasi keselamatan, jaminan mutu dan kesiapan kedaruratan. Konvensi merupakan suatu instrumen pendorong. Dia tidak dirancang untuk menjamin pemenuhan kewajiban-kewajiban oleh Negara-Negara Pihak melalui kontrol dan sanksi namun didasarkan pada kepentingan bersama mereka untuk mencapai tingkat-tingkat keselamatan yang lebih tinggi yang akan dikembangkan dan dipromosikan melalui pertemuan-pertemuan regular Para Pihak. Konvensi mewajibkan Para Pihak untuk menyampaikan laporan-laporan tentang implementasi kewajiban mereka untuk ‘penilaian kelompok ahli (peer review)’ dalam pertemuan-pertemuan Para Pihak yang diselenggarakan di IAEA. Mekanisme ini merupakan elemen inovatif yang utama dan dinamis dari Konvensi.
Konvensi ini diadopsi tanggal 17 Juni 1994 di Wina, Austria, dan terbuka untuk ditandatangani 20 September 1994 serta mulai berlaku efektif pada 24 Oktober 1996. Indonesia menandatangani Konvensi ini pada tanggal 22 September 1994 dan meratifikasinya pada 4 Oktober 2001.

6.4. Konvensi Gabungan

The Joint Convention on the Safety of Spent Fuel Management and the Safety of Radioactive Waste Management (Konvensi Gabungan tentang Keselamatan Pengelolaan Bahan Bakar Bekas dan Keselamatan Pengelolaan Limbah Radioaktif) diadopsi pada Konferensi Diplomatik 5 September 1997 dan terbuka untuk ditandatangani pada Konferensi Umum IAEA 29 September pada tahun yang sama. Konvensi ini menjadi instrumen internasional pertama yang mengatur masalah keselamatan manajemen dan penyimpanan limbah radioaktif di negara-negara baik yang mempunyai program nuklir maupun yang tidak. Konvensi ini secara signifikan memperluas rezim keselamatan nuklir IAEA dan mempromosikan standar-standar Internasional untuk mengelola suatu isu yang menjadi kepedulian utama masyarakat. Konvensi berlaku pada keselamatan manajemen bahan bakar bekas, didefinisikan sebagai “semua aktivitas yang berhubungan dengan penanganan atau penyimpanan bahan bakar bekas.” Juga berlaku pada keselamatan manajemen radioaktif, didefinisikan sebagai “semua kegiatan, termasuk kegiatan dekomisioning, yang berhubungan dengan penanganan, pra-treatment, treatment, conditioning, penyimpanan, atau pembuangan limbah radioaktif”. Konvensi juga mencakup keselamatan manajemen bahan bakar bekas atau limbah radioaktif yang berasal dari program militer atau pertahanan jika dan kapan material-material tersebut ditransfer secara permanen dan dikelola di dalam program-program sipil eksklusif, atau kapan dinyatakan sebagai bahan bakar bekas atau limbah radioaktif untuk tujuan Konvensi.
Salah satu tujuan Konvensi, adalah untuk menjamin bahwa selama semua tahap dari manajemen bahan bakar bekas dan limbah radioaktif ada suatu cara pertahanan efektif terhadap bahaya potensial sedemikian hingga semua individu, masyarakat dan lingkungan terlindungi dari efek-efek berbahaya radiasi pengion, sekarang dan nanti.
Konvensi menetapkan suatu sistem pelaporan yang mengikat bagi Negara Pihak untuk mengatur semua langkah-langkah yang diambil oleh masing-masing negara untuk mengimplementasikan kewajiban-kewajiban di bawah Konvensi. Ini meliputi pelaporan terhadap timbunan-timbunan nasional limbah radioaktif dan bahan bakar bekas.
Konvensi ini telah berlaku efektif sejak 18 Juni 2001, setelah Irlandia negara ke-25 yang mendeposit instrumen ratifikasinya pada 20 Maret 2001 di Markas IAEA, Wina, Austria. Indonesia telah menandatangani Konvensi Gabungan ini pada 6 Oktober 1997, namun belum meratifikasinya.

7. KEAMANAN NUKLIR

7.1 Konvensi Proteksi Fisik

Tujuan untuk mencapai tingkat keselamatan nuklir yang tinggi di seluruh dunia harus digandakan dengan tujuan mencapai tingkat keamanan nuklir yang tinggi seluruh dunia. Keamanan nuklir akan diperkuat oleh pengembangan dan penerapan langkah-langkah yang memadai proteksi fisik terhadap pencurian atau penyimpangan bahan nuklir dan terhadap sabotase fasilitas nuklir. Proteksi fisik merupakan hal yang menjadi perhatian nasional dan internasional sejak lama, dan kepatuhan yang menyeluruh pada Convention on the Physical Protection of Nuclear Material (Konvensi Perlindungan Fisik Bahan Nuklir) memberi bukti kesungguhan negara-negara menerima kewajiban internasional di bidang ini. Penguatan terhadap keamanan nuklir menjadi fokus setelah keruntuhan Uni Soviet, ketika terjadi sejumlah kasus penyeludupan bahan nuklir dan munculnya kegiatan terorisme internasional, seperti peristiwa 11 September 2001. Ini mendesakkan perlunya penguatan rezim internasional keamanan nuklir, dengan membangun budaya keamanan sebagai aspek utama.
Konvensi ditandatangani di Wina dan New York pada 3 Maret 1980, mewajibkan Negara-negara Pihak untuk menjamin selama transportasi nuklir internasional memberikan perlindungan bahan nuklir di dalam wilayah teritorial mereka atau di atas kapal-kapal mereka atau pesawat-pesawat udara mereka.
Konferensi Peninjauan Ulang pertama diselenggarakan di Wina dari 29 September hingga 1 Oktober 1992 dan dihadiri oleh 35 Negara Pihak, dengan suara bulat menyatakan dukungan penuhnya terhadap Konvensi dan mendesak semua Negara untuk mengambil tindakan guna menjadi negara pihak pada Konvensi. Negara-negara Pihak memandang, teristimewa, bahwa Konvensi tersebut memberikan suatu kerangka kerja yang sangat sesuai bagi kerja sama internasional dalam perlindungan (proteksi), pemulihan dan pengembalian bahan nuklir yang hilang/tercuri dan dalam penerapan sanksi-sanksi kriminal terhadap orang-orang yang melakukan tindakan-tindakan kriminal yang melibatkan bahan nuklir.
Konvensi ini diadopsi tanggal 26 Oktober 1979 di Wina, Austria, dan mulai berlaku efektif pada 8 Februari 1987. Indonesia menandatangani Konvensi ini pada tanggal 3 Juli 1986 dan meratifikasinya pada 5 November 1986.
Pada 8 Juli 2005 Konvensi diamendemen, namun hingga saat ini Amandemen tersebut belum berlaku efektif seperti disebutkan di depan.

8. PERTANGGUNGAN KERUGIAN NUKLIR

Pada saat peristiwa Chernobyl, Vienna Convention on Civil Liability for Nuclear Damage 1963 (Konvensi Wina tentang Pertanggungan Perdata Kerugian Nuklir) telah berlaku sejak 1977 dan Paris Convention 1960/1964/1982 berlaku sejak 1968 dan 1985. Namun kedua rezim pertanggungan tersebut tidak dapat digunakan untuk memberi kompesasi pada para korban. Uni Soviet bukan negara pihak pada salah satu konvensi, dan belum mempunyai legislasi pertanggungan nuklir nasionalnya. Hikmah yang didapat dari peristiwa itu adalah bahwa menetapkan rezim hukum pertanggungan nuklir tidaklah cukup. Perlu usaha-usaha politis tambahan untuk meyakinkan negara-negara untuk mengadopsinya. Hingga saat ini masih tampak bahwa negara-negara belum sepenuhnya memahami pelajaran ini karena rezim pertanggungan nuklir global belumlah tercapai secara penuh.
Peristiwa kecelakaan dapat tidak hanya berdampak di negara bersangkutan, tapi dapat juga pada negara tetangga bahkan yang lebih jauh, sehingga memicu pembicaraan seluruh dunia tentang kepantasan skema pertanggungan nuklir yang ada.
Dalam periode dari 1988 hingga 2004, perundingan-perundingan berlangsung untuk mempertimbangkan pengalaman Chernobyl dan untuk memperkuat hukum pertanggungan nuklir internasional. Dimulai dengan perumusan dan pengadopsian the Joint Protocol Relating in the Application of the Vienna Convention and the Paris Convention, dilanjutkan dengan perumusan dan pengadopsian Revision Protocol to the Vienna Convention dan Convention on Supplementary Compensation dari 1989 hingga 1997 di Wina, serta perumusan dan pengadopsian Revision Protocols to the Paris Convention dan Brussels Supplementary Convention dari 1998 hingga 2004 di Paris.
Dalam bulan September 1997, pemerintah mengambil langkah maju yang sangat berarti dalam penyempurnaan rezim pertanggungan kerugian nuklir. Pada Konferensi Diplomatik di Markas Besar IAEA, Wina, 8-12 September 1997, delegasi dari lebih 80 negara mengadopsi Protocol to Amend the 1963 Vienna Convention on Civil Liability for Nuclear Damage (Protokol untuk Amandemen Konvensi Wina 1963 tentang Pertanggungan Perdata Kerugian Nuklir) dan juga mengadopsi Convention on Supplementary Compensation for Nuclear Damage (Konvensi tentang Kompensasi Pelengkap untuk Kerugian Nuklir). Protokol menetapkan batas ganti rugi yang mungkin oleh operator tidak kurang dari 300 juta SDR (Special Drawing Right) (kurang lebih setara dengan 400 juta dollar Amerika). Sementara Konvensi tentang Kompensasi Pelengkap untuk Kerugian Nuklir menetapkan jumlah tambahan yang harus disediakan melalui kontribusi Negara-negara Pihak yang didasarkan pada kapasitas nuklir terpasang dan nilai kajian PBB.
Konvensi merupakan suatu instrumen terhadap mana semua negara harus mematuhinya tanpa memandang apakah mereka merupakan negara pihak pada konvensi pertanggungan nuklir yang ada atau mempunyai instalasi nuklir di dalam wilayah kedaulatan mereka atau tidak. Protokol mengandung antara lain suatu definisi yang lebih baik tentang kerugian nuklir (kini juga mencakup konsep kerusakan lingkungan dan langkah-langkah pencegahan), memperluas cakupan geografis Konvensi Wina, dan memperpanjang periode selama mana klaim dapat dilakukan atas kehilangan jiwa dan cacat yang diderita.
Konvensi juga melengkapi yurisdiksi negara-negara pantai terhadap tindakan-tindakan yang mendatangkan kerugian nuklir selama transportasi. Dilakukan secara bersama, kedua instrumen tersebut secara substansial hendaknya memperkuat kerangka kerja global terhadap kompensasi lebih baik dari yang diperkirakan oleh Konvensi-konvensi sebelumnya.
Sebelum aksi September 1997, rezim pertanggungan internasional diatur terutama dalam dua instrumen, yaitu: Konvensi Wina 1963 dan Konvensi Paris 1960 yang disatukan oleh Protokol Gabungan (the Joint Protocol) yang diadopsi pada 1988. Konvensi Paris kelak diperkuat dengan Konvensi Brussels 1963 tentang Pelengkap (the 1963 Brussels Supplementary Convention). Konvensi-konvensi ini didasarkan pada konsep hukum perdata dan menganut prinsip-prinsip utama berikut, antara lain:
a. Pertanggungan secara ekslusif disalurkan ke operator instalasi nuklir.
b. Pertanggungan operator adalah mutlak, yaitu operator harus memikul pertanggungan tanpa memandang kesalahan.
c. Pertanggungan adalah terbatas dalam jumlah.
d. Pertanggungan adalah terbatas dalam waktu.
e. Operator harus menjaminkan suatu asuransi.
f. Yurisdiksi atas tindakan secara eksklusif berada pada pengadilan Negara Pihak yang mempunyai wilayah di mana kecelakaan nuklir terjadi.
g. Non-diskriminasi korban atas dasar kebangsaan, domisili, dan tempat tinggal.
Menyusul kecelakaan Chernobyl, IAEA memprakarsai pekerjaan pada semua aspek pertanggungan nuklir dengan suatu pandangan untuk menyempurnakan Konvensi-konvensi dasar dan menetapkan suatu rezim pertanggungan yang komprehensif. Pada 1988, sebagai hasil usaha bersama IAEA dan OECD/NEA, sebuah Protokol Gabungan yang Menghubungkan Aplikasi Konvensi Wina dan Konvensi Paris (the Joint Protocol Relating to the Application of the Vienna Convention and the Paris Convention) berhasil diadopsi. Protokol Gabungan menetapkan suatu hubungan (link) antara Konvensi-konvensi tersebut yang menggabungkan mereka kedalam satu rezim pertanggungan yang diperluas. Pihak pada Protokol Gabungan diperlakukan seakan-akan mereka adalah Pihak pada kedua Konvensi dan pilihan aturan hukum disediakan untuk menentukan yang mana dari dua Konvensi tersebut yang harus berlaku dengan mengenyampingkan yang lain dalam hal kecelakaan yang sama.
Konvensi Wina tentang Pertanggungan Perdata Kerugian Nuklir diadopsi tanggal 21 Mei 1963 di Wina, Austria, dan mulai berlaku efektif pada 12 November 1977. Indonesia pada tanggal 6 Oktober 1997 telah menandatangani Protokol dan Konvensi yang terkait dengan Konvensi Wina ini, yaitu: Protocol to Amend the 1963 Vienna Convention on Civil Liability for Nuclear Damage dan Convention on Supplementary Compensation for Nuclear Damage (Konvensi tentang Kompensasi Pelengkap untuk Kerugian Nuklir) setelah keduanya terbuka ditandatangani pada 29 September 1997, namun belum meratifikasi keduanya.

9. PENUTUP

Peristiwa Chernobyl merupakan pukulan pada promosi pembangkitan listrik dengan nuklir. Namun, peristiwa itu juga membawa perubahan-perubahan besar dalam pendekatan terhadap keselamatan nuklir, termasuk pengembangan apa yang dinamakan dengan ‘budaya keselamatan nuklir’ internasional yang didasarkan pada review dan perbaikan secara konstan, analisis ketat pengalaman pengoperasian, dan saling membagi praktek terbaik secara konsisten. Budaya keselamatan ini telah ditunjukkan keefektifannya selama dua dasawarsa terakhir.
Sebagaimana halnya dengan teknologi penerbangan, rekayasa genetika atau teknologi maju lainnya, teknologi nuklir tidak hadir dengan jaminan keselamatan mutlak. Apa yang terpenting adalah pemahaman secara jelas terhadap risiko dan manfaatnya.
Peristiwa tersebut membangunkan masyarakat nuklir internasional dan membawa pada era baru kerja sama nuklir internasional. Masyarakat internasioanal dalam usahanya menyembuhkan kekhawatiran umum dan dunia politik terhadap penggunaan atom sebagai sumber energi yang layak, berupaya membangun kembali kepercayaan dalam keselamatan energi nuklir, terutama melalui IAEA, dengan mengkaji kelemahan-kelemahan yang ada di dalam kerangka legal internasional yang ada.
Isu paling kritis adalah dukungan masyarakat, yang merupakan kunci bagi masa depan nuklir. Pemahaman masyarakat atas kontribusi Iptek Nuklir bagi kemanusiaan telah terbukti sebagai faktor krusial bagi nasib baik tenaga nuklir. Namun masih banyak kekurangpahaman masyarakat dan kurangnya pengetahuan tentang radiasi dan iptek nuklir. Hal ini tidaklah mengherankan, karena iptek nuklir merupakan subyek yang kompleks. Meskipun demikian, kompleksitas tersebut hendaknya tidak berakibat adanya salah persepsi yang berkelanjutan. Pemahaman masyarakat merupakan syarat bagi penerimaannya. Dan penerimaan masyarakat merupakan kunci yang akan memungkinkan nuklir mewujudkan apa yang oleh pengamat yang telah terdidik melihatnya sebagai potensialnya yang luar biasa. Kunci terhadap proses ini adalah budaya baru tentang keterbukaan, transparasi dan obyektivitas.
UU No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran bahwa pemanfaatan tenaga nuklir terkait erat dengan kemaslahatan kehidupan dan keselamatan manusia yang ditujukan sepenuhnya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang dilaksanakan secara tepat dan hati-hati serta untuk tujuan damai.
Sifat damai dan mulia dari pemanfaatan tenaga nuklir juga tertuang secara jelas dalam Anggaran Dasar Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) dan dijabarkan dalam berbagai perjanjian internasional berupa Traktat, Konvensi, Protokol dan Perjanjian Internasional lainnya sebagai instrumen/dasar hukum bagi setiap kegiatan dan tindakan yang berkaitan dengan penggunaan tenaga nuklir untuk tujuan damai.
Keberadaan instrumen Internasional tersebut telah mendorong percepatan dan promosi penggunaan tenaga nuklir dalam berbagai bidang aplikasi dewasa ini untuk perdamaian dan kesejahteraan umat manusia.
Pemahaman yang utuh pada promosi nuklir tujuan damai hendaknya meliputi semua aspeknya berupa aspek teknis, aspek legal, aspek geostrategi (geopolitik & geoekonomi), aspek filosofi kesejarahan, dimana pemahaman ini selanjutnya dapat dikomunikasikan kepada semua pemangku kepentingan agar promosi pemanfaatan nuklir tujuan damai mencapai sasaran sesuai harapan.
Untuk itu hendaknya Iptek nuklir dapat dikomunikasikan dan disosialisasikan sesuai paradigma tersebut dengan semua aspeknya termasuk di dalamnya aspek perjanjian Internasional yang mengaturnya. (Yaziz Hasan)

Melawan Penyakit Melalui Nuklir

Teknik kedokteran nuklir secara progresif telah menjadi alat paling penting dalam melawan berbagai penyakit, seperti diantaranya penyakit jantung. Teknik nuklir telah memainkan peran kunci dalam menangani gangguan arteri koroner. Teknik ini juga berguna dalam menangani hipertensi renovaskular dan diagnosis gangguan pembuluh darah kecil yang mempengaruhi ginjal, jantung, dan saluran pencernaan pada pasien-pasien yang menderita diabetes, skleroderma, dan penderita penyakit kronis lainnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, teknik kedokteran nuklir telah mapan sehingga sekarang menjadi kebiasaan rutin dalam praktek klinik di seluruh dunia. Sehingga dengan demikian, kedokteran nuklir kardiovaskular telah ditetapkan sebagai suatu alat investigatif utama.
Namun praktek teknik kedokteran nuklir baru saja mulai mendapatkan pijakan di negara-negara berkembang. Sebuah simposium internasional yang berlangsung 27-31 Mei di Beijing, Cina telah menjadi forum yang mengevaluasi status terbaru kedokteran nuklir di seluruh dunia, khususnya di negara-negara berkembang. Simposium tersebut diorganisasikan oleh Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) bekerja sama dengan Federasi Kedokteran dan Biologi Nuklir Dunia, Federasi Kedokteran dan Biologi Nuklir Asia-Osenia, Perhimpunan Kardiologi Nuklir Asia Pasifik, Perhimpunan Kedokteran Nuklir Cina, dan Perhimpunan Kardiologi Nuklir Amerika. Dalam simposium tersebut berkumpul para ahli klinik ahli kardiologi, ahli bedah kardiovaskular, dan para ilmuwan terkemuka dari negara-negara maju dan berkembang dalam rangka mempertukarkan informasi kemajuan-kemajuan terbaru dalam bidang tersebut dan menentukan arah ke depan, juga peranan IAEA dalam mempromosikan kedokteran nuklir, kardiovaskular.
Kedokteran nuklir mempunyai peran utama dalam diagnosis, tindak lanjut dan pengkajian prognostik pasien-pasien yang menderita gangguan arteri koroner.
Kedokteran nuklir mempunyai peranan suportif dalam investigasi fungsi ventrikular dan deteksi dini abnormalitas gerak dinding regional, dan secara progresif, aktivitas ini membentuk suatu bagian integral dalam penanganan pasien dengan gangguan fungsi kardiak.

Studi-studi radionuklida adalah vital dalam penanganan pasien-pasien dengan gangguan vaskular periferal seperti obstruksi venokaval, trombasis vena dalam, dan trauma vaskular. Teknik-teknik seperti apiogram radionuklida, ventrikulografi radionuklida, SPECT myokardial, venogram aliran, renografi kaptopril, deteksi koinsiden molekular dan tomografi emisi positron selama bertahun-tahun telah mapan dan kini telah digunakan dalam praktek klinik rutin di seluruh dunia. Akhir-akhir ini, pengenalan terapi radionuklida intravaskular menyusul angioplasti untuk mencegah re-stenosis telah menimbulkan minat signifikan dalam komunitas kedokteran di seluruh dunia.

Apa itu Kedokteran Nuklir?

Anda barangkali pernah melihat atau mendengar seorang pasien mengalami terapi kanker dengan radiasi, dan dokter menganjurkan pemindaian (scanning) dengan PET untuk mendiagnosis pasien-pasien. Ini merupakan bagian dari spesialisasi kedokteran yang disebut kedokteran nuklir. Kedokteran nuklir menggunakan zat-zat radioaktif untuk memindai (memotret) tubuh dan menangani penyakit. Kedokteran nuklir melihat baik fisiologi (fungsi organ) maupun anatomi tubuh dalam menetapkan diagnosis dan penanganannya.

Di masa lalu, pembedahan merupakan satu cara yang lazim untuk melihat bagian dalam tubuh, namun saat ini para dokter dapat menggunakan seperangkat peralatan dengan teknik-teknik non-invasif. Teknik ini meliputi sinar-X, pemindaian MRI, pemindaian CAT ultrasonografi dan lain-lain. Masing-masing teknik ini mempunyai keuntungan dan kelemahannya yang membuat mereka bermanfaat untuk kondisi berbeda dan bagian tubuh berbeda.

Teknik pemindaian dengan kedokteran nuklir memberi dokter cara lain untuk melihat bagian dalam tubuh menusia. Teknik ini menggabungkan penggunaan komputer, detektor dan zat-zat radioaktif. Teknik ini meliputi :

 Tomografi emisi positron (PET)
 Tomografi emisi foton tanggal (SPECT)
 Pemindaian kardiovaskular
 pemindaian tulang punggung.

Semua teknik ini menggunakan sifat-sifat berbeda dari unsur-unsur radioaktif untuk menciptakan sebuah bayangan.
Pemindaian kedokteran nuklir antara lain berguna untuk mendeteksi :

 tumor
 ankurisma
 ketidakteraturan atau ketidaklancaran aliran darah ke berbagai jaringan
 gangguan sel darah dan kegagalan fungsi organ, seperti tiroid dan defisiensi fungsi pulmonari.

Penggunaan setiap pengujian spesifik, ataupun kombinasi pengujian bergantung pada gejala pasien dan penyakit yang didiagnosis. (Yaziz Hasan)

Program Nuklir dan Dukungan Rakyat

Mengamati suasana politik nasional akhir-akhir ini, kita menyaksikan tingkat dinamika yang tinggi antara Pemerintah dan DPR menyusul interpelasi DPR atas sikap Pemerintah mendukung pemberlakukan resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB No. 1747 yang memberikan perluasan sanksi kepada Iran sehubungan dengan program nuklir pengayaan uraniumnya.
Pihak DPR mengharapkan keterangan Pemerintah dapat diberikan langsung oleh Presiden di hadapan rapat paripurna DPR, tanpa diwakilkan kepada menterinya. Sementara Pemerintah menganggap pemberian keterangan cukup diwakilkan kepada menteri terkait dengan merujuk pada Tatib DPR itu sendiri.
Hingga perkembangan yang terakhir dalam Rapat konsultasi selama satu jam antara pimpinan DPR dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kantor Presiden, Istana Kepresidenan, Jakarta, pada 18 Juni 2007, berakhir dengan kebuntuan.
Meski dalam jumpa pers usai rapat konsultasi Mensesneg Hatta Radjasa dan Ketua DPR Agung Laksono mengatakan bahwa pembicaraan tentang interpelasi nuklir Iran berlangsung konstruktif, kendati tidak dijelaskan lebih lanjut apa maksudnya. Hatta hanya mengemukakan, komunikasi Presiden dengan pimpinan DPR akan dilanjutkan.
Pertemuan tidak membawa hasil seperti diharapkan DPR yaitu meminta kehadiran Presiden Yudhoyono dalam sidang paripurna DPR dengan agenda interpelasi tentang persetujuan pemerintah Indonesia atas resolusi DK PBB No 1747 mengenai Perluasan Sanksi bagi Iran.
Agung bersama tiga Wakil Ketua DPR-RI yaitu Soetadjo Soerjogoeritno, Muhaimin Iskandar, dan Zaenal Ma’arif berkonsultasi dengan Presiden atas perintah Bamus DPR. Mereka datang dengan agenda tunggal meminta kepastian kehadiran Presiden dalam rapat interpelasi yang akan dijadwalkan Badan Musyawarah (Bamus) DPR.
Sementara itu, Presiden didampingi oleh Wapres Jusuf Kalla, Menko Polhukam Widodo AS, Menko Perekonomian Boediono, Menko Kesra Aburizal Bakrie, Menlu Hassan Wirajuda, Mensesneg Hatta Radjasa, dan Seskab Sudi Silalahi.
Seperti diketahui, Rapat Bamus DPR pada 24 Mei 2007 sepakat mengundang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 5 Juni 2007 untuk menyampaikan jawaban langsung hak interpelasi yang diajukan kepada pemerintah.
Mayorits fraksi di DPR mendukung usul hak interpelasi. Hanya dua fraksi yang menolak, yaitu Partai Demokrat dan Partai Damai Sejahtera.
Berbagai elemen masyarakat, baik organisasi massa politik maupun keagamaan telah menyuarakan dukungan atas sikap DPR itu. Bahkan mantan Ketua MPR, Amien Rais, menyambut baik lolosnya usul hak interplasi DPR terhadap dukungan pemerintah atas resolusi DK PBB mengenai pengembangan nuklir Iran tersebut. Secara tersirat mereka mendukung sepenuhnya program nuklir Iran.
Sebagaimana dapat diakses dari berbagai sumber informasi, bahwa tekad Iran untuk memanfaatkan teknologi nuklir dan melakukan sendiri aktivitas pengayaan uranium adalah merupakan tekad nasional yang didukung oleh seluruh elemen pemerintahan dan masyarakat di negara Islam tersebut.
Meski ancaman dan intimidasi terus dilakukan oleh negara-negara Barat, pemerintah Iran telah mengantongi dukungan rakyat untuk memanfaatkan teknologi nuklir. Iran telah menyatakan tidak gentar menghadapi segala macam ancaman.
Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad dengan bangga malah menyatakan bahwa program nuklir Iran kini sedang menuju ke arah “puncak.” Pernyataan itu dilontarkan Ahmadinejad saat mengunjungi fasilitas nuklir Iran di Natanz, dalam rangka memperingati satu tahun pencapaian teknologi pengayaan uranium negara para Mullah itu.
“Iran sebagai bangsa yang besar, yang selama berabad-abad menjadi pionir dalam bidang ilmu pengetahuan, tidak akan membiarkan kekuatan-kekuatan yang bisanya hanya menggertak pihak yang lemah, untuk menghalang-halangi jalan kemajuan bagi Iran dengan cara mempengaruhi masyarakat internasional, ” kata Ahmadinejad.
“Dengan kebanggaan yang besar, saya deklarasikan bahwa sejak hari ini negara kita tercinta telah bergabung dengan bangsa-bangsa klub nuklir dan bisa memproduksi bahan bakar nuklir pada skala industri,” ungkapnya.
Isi pidato Ahmadinejad itu kembali menegaskan pengumuman Kepala Organisasi Energi Atom Iran, Gholam Reza Aghazadeh yang menyatakan bahwa Iran sudah memulai produksi massal centrifuge yang diperlukan untuk melakukan pengayaan uranium.
Ahmadinejad dalam pidatonya menguraikan, keberhasilan Iran mencapai skala industri bahan bakar nuklir hendaknya disambut baik karena teknologi nuklir mempunyai manfaat yang besar bagi seluruh umat manusia. Di bidang listrik, disebutkan, energi nuklir menimbulkan tingkat polusi yang lebih kecil ketimbang teknologi lainnya.
“Iran membuka diri dan siap bekerja sama dengan negara mana pun yang ingin meningkatkan kemampuannya dalam memanfaatkan teknologi nuklir,” paparnya di depan puluhan diplomat asing yang menghadiri peringatan Hari Nuklir Iran di Natanz.
Satu tahun keberhasilan Iran dalam melakukan pengayaan uranium diperingati besar-besaran oleh seluruh warga negara republik Islam itu. Di seluruh Iran, lonceng-lonceng sekolah dibunyikan untuk menandai “Hari Nasional Energi Nuklir”. Di Teheran, sekitar 200 pelajar membentuk rantai manusia di Organisasi Energi Atom Iran sambil meneriakkan slogan kejayaan bangsanya.
Dalam rangka memperingati satu tahun keberhasilan program nuklir Iran, televisi nasional Iran menayangkan program informasi tentang bagaimana proses pengayaan uranium dilakukan dan secara detil menginformasikan berapa fasilitas nuklir yang dimiliki oleh negara-negara seperti AS dan Prancis. Dalam tayangan itu disebutkan bahwa kemajuan teknologi atom merupakan “kebanggaan nasional yang paling tinggi. “
Yang jelas, tekad Iran telah bulat. Apapun yang terjadi nantinya, pemerintah Iran telah menegaskan tidak akan melepas apa yang sudah menjadi haknya dalam masalah nuklir.
Program energi nuklir Iran telah menimbulkan kontroversi pada beberapa tahun terakhir. Beberapa pengeritik internasional mengatakan bahwa Iran tidak perlu nuklir mengingat cadangan minyak dan gasnya yang luar biasa. Dengan cadangan minyak terbesar kedua di dunia setelah Arab Saudi dan cadangan gas terbesar kedua dunia sesudah Rusia, memang Iran adalah negeri kaya energi.
Namun mereka sadar bahwa, kebutuhan energi abad ini merupakan kebutuhan yang esensial di tengah menipisnya sumber daya alam yang ada. Sehubungan dengan hal di atas, pembangunan berkelanjutan merupakan sebuah isu global dalam menjaga kelangsungan hidup, kaitan dengan keterbatasan sumber daya alam, dan pengaruh penggunaan sumber energi tersebut terhadap lingkungan.
Dalam konteks pengembangan energi alternatif, keinginan Iran mengembangkan program nuklir bisa dimengerti. Berdasar data terakhir IAEA, kini di dunia ada 442 reaktor nuklir pembangkit listrik, tersebar di berbagai negara, termasuk Jepang, yang justru pernah mengalami pahitnya bom nuklir. Energi nuklir di Jepang menyumbang sekitar 30 persen kebutuhan listriknya; sementara di Perancis menyumbang sampai 78 persen. Selain itu, kini juga ada sekitar 30 reaktor yang sedang dibangun.
Indonesia sendiri sejak lama berencana mengembangkan energi nuklir, untuk mengantisipasi krisis akibat habisnya sumber daya energi fosil (minyak, batu bara, dan lainnya). Sejak awal perencanaan dan studi kelayakan, secara transparan Indonesia sudah bekerja sama dengan IAEA. Karena itu, tahun 1993 Dirjen IAEA saat itu, Dr Hans Blix, secara khusus memuji dan menghargai Indonesia.
Namun demikian keinginan Indonesia untuk segera memanfaatkan energi nuklir untuk pembangkitan listrik guna kepentingan nasional dan pertumbuhan ekonomi dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat kecil, tampaknya masih mendapatkan sedikit hambatan dari mereka yang menamakan diri sebagai ahli energi dan lingkungan dengan mengerahkan dan memprovokasi sebagian masyarakat untuk menyatakan penolakan atas rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir, seperti dapat disaksikan di wilayah sekitar lokasi calon tapak PLTN Indonesia pada beberapa bulan terakhir .
Mereka menyuarakan penolakan dengan mengemukakan berbagai alasan beragam, yang sering kali dengan mengutip data-data tak akurat dan mengandung distorsi yang dapat menyesatkan pemahaman obyektif publik. Senjata utama mereka adalah misinformasi dan rasa takut.
Tapi penolakan PLTN bagai embusan angin dingin di tengah animo negara dunia ketiga yang berebut ingin memiliki teknologi canggih itu.
Indonesia bukannya tak berpengalaman mengoperasikan reaktor nuklir. Ada tiga reaktor nuklir yang dikelola Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) yang tersebar di Yogyakarta, Bandung, dan Serpong.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Batan, Hudi Hastowo, meyakinkan seluruh teknologi dan manajemen yang akan diterapkan pada PLTN di Jepara mengacu pada standar internasional. Studi kelayakan pembangunan PLTN di Indonesia bahkan sudah dilakukan sejak 30 tahun lalu. Di antaranya pada 1976 dengan IAEA, 1980 dengan konsultan NIRA/ENEL (Italia), 1984 bersama konsultan BECHTEL (AS, dan 1994 bersama konsultan NEWJEC (Jepang) dengan penekanan masalah alternatif lokasi.
Teknologi reaktor yang akan diterapkan di PLTN Semenanjung Muria, menurut dia, dipersiapkan untuk memberi jaminan keselamatan tingkat tinggi.
Bagi pemerintah, mengulur-ngulur waktu pendirian PLTN bukanlah pilihan. Krisis pasokan listrik Jawa-Bali dan bencana lingkungan tinggal menunggu waktu andai PLTN tak segera dibangun. Berdasarkan hitungan PLN, kata Hudi, jumlah batu bara yang dibutuhkan untuk memasok pembangkit listrik pada 2026 akan mencapai 142 juta ton per tahun atau tiga kali lipat jumlah saat ini. Angkanya akan terus meroket pada tahun-tahun berikutnya.
Peran nuklir dalam pembangunan berkelanjutan telah mendapatkan pengakuan yang utama. Dengan sedikit kontroversi di dalam negeri, India dan Cina terus bertekad untuk menggerakkan ekonomi mereka yang bertumbuh cepat dengan menggunakan lebih banyak lagi energi nuklir.
AS kembali meletakkan energi nuklir pada kebijakan energi dalam negeri dan pada agenda kebijakan luar negerinya.
“Demi keamanan ekonomi dan keamanan nasional, AS harus segera secara agresif bergerak ke depan dengan membangun kembali PLTN-PLTN (baru),” kata Presiden AS, George Walker Bush, Jr dalam suatu kesempatan. “Untuk mempertahankan kepimimpinan ekonomi kita, kita harus melakukannya lagi.” Energi Nuklir adalah penting bagi bangsa karena murah, bersih dan aman, kata Bush. “Tanpa energi nuklir, emisi karbon dioksida akan menjadi 28 persen lebih besar dalam industri listrik pada 2004. Tanpa daya nuklir, kita akan menambahkan sebanyak 700 juta ton karbon dioksida dalam setahun, dan itu hampir sama dengan emisi tahunan dari 136 juta mobil,” lanjutnya.
“Amerika harus mulai membangun PLTN,” katanya. “Ada konsensus yang meningkat bahwa nuklir merupakan bagian kunci dari masa depan energi yang aman dan bersih,” lanjut Bush.
“Untuk menjaga kepemimpinan ekonomi dan memperkuat keamanan energi kita, Amerika harus memulai pembangunan PLTN.”
“Ekonomi kita sedang menciptakan pekerjaan baru. Juga menciptakan kebutuhan baru terhadap energi. … Dengan mengembangkan penggunaan kita terhadap nuklir, kita dapat membuat pasokan energi kita lebih andal, lingkungan yang lebih bersih dan bangsa kita lebih terjamin untuk generasi masa depan.”
“Saya optimistik tentang masa depan energi nuklir,” kata Bush.
Dari gambaran tersebut, tampaknya AS ingin menggairahkan kembali pengembangan energi nuklirnya untuk pembangkitan listrik setelah beberapa waktu lama mengalami masa stagnan. Amerika Serikat saat ini mengoperasikan PLTN paling banyak, sejumlah 104 dari 442 yang beroperasi di seluruh dunia.
Negeri lain, seperti Jepang dan Korea juga terus meningkatkan program pembangunan reaktor nuklir. Bahkan, Rusia, Ukraina dan Finlandia telah memiliki rencana ambisius pembangunan reactor nuklir baru yang dirancang untuk menjamin mereka tetap dapat menyuplai kebutuhan listrik mereka.
Bagaimanapun, apa yang dapat kita pastikan, adalah bahwa energi nuklir senantiasa siap sedia sebagai alternatif terbaik terhadap bahan bakar fosil, dan sumber energi terbarukan lainnya. (Yaziz Hasan)

Amerika Serikat Revitalisasi Energi Nuklir

Presiden AS, George Walker Bush, Jr, dalam pidato 23 Mei 2006 di hadapan karyawan Stasion Pembangkit Limerick, Pennsylvania, menegaskan kembali seruannya tentang kebijakan energi nuklir Amerika.
“Demi keamanan ekonomi dan keamanan nasional, AS harus segera secara agresif bergerak ke depan dengan membangun kembali PLTN-PLTN (baru),” katanya, yang disambut tepuk-tangan meriah. “Untuk mempertahankan kepimimpinan ekonomi kita, kita harus melakukannya lagi.” Energi Nuklir adalah penting bagi bangsa karena murah, bersih dan aman, kata Bush. “Tanpa energi nuklir, emisi karbon dioksida akan menjadi 28 persen lebih besar dalam industri listrik pada 2004. Tanpa daya nuklir, kita akan menambahkan sebanyak 700 juta ton karbon dioksida dalam setahun, dan itu hampir sama dengan emisi tahunan dari 136 juta mobil,” lanjutnya.
Presiden Bush menambahkan bahwa daya nuklir “adalah aman karena kemajuan di dalam iptek dan rancangan pembangkit. Ia aman karena para pekerja dan pengelola PLTN kita adalah orang-orang yang terampil dan andal yang tahu apa yang mereka harus kerjakan.”
Strategi Gedung Putih untuk mendukung pembangunan PLTN-PLTN baru meliputi suatu paduan insentif yang diberikan dalam Undang-undang Kebijakan Energi yang baru saja disahkan pada Agustus 2005.
Program nuklir 2010 dari Departemen Energi, kata Bush, adalah merupakan program pemerintah lainnya untuk mendukung pengembangan desain reaktor maju dan pembangunan PLTN yang distandarisasi.
Bush mengatakan bahwa setahun lalu “hanya dua perusahaan yang ingin membangun PLTN. Kini, 16 perusahaan telah mengungkapkan keinginannya untuk membangun PLTN baru.”
“Saya ingin mengatakan bahwa generasi orang-orang ini memiliki wawasan yang diperlukan untuk terus menganekaragamkan pasokan listrik dan mengakui bahwa PLTN aman, dan berbuat banyak hal terhadapnya,” kata Bush. “Kita tidak sekedar menandai waktu kita. Kita sesungguhnya melakukan sesuatu terhadapnya, sehingga generasi
Amerika mendatang akan mampu memiliki sebuah Amerika yang lebih baik.”
Harapan untuk segera membangun PLTN baru di Amerika, sebelumnya juga disampaikan oleh Presiden Bush di hadapan para eksekutif industri nuklir Amerika yang berkumpul di San Fransisco pada 18 – 19 Mei 2006, dalam rangka konferensi tahunan.
“Amerika harus mulai membangun PLTN,” katanya. “Ada konsensus yang meningkat bahwa nuklir merupakan bagian kunci dari masa depan energi yang aman dan bersih,” lanjut Bush di hadapan 435 eksekutif yang menghadiri konferensi. “Untuk menjaga kepemimpinan ekonomi dan memperkuat keamanan energi kita, Amerika harus memulai pembangunan PLTN.”
AS memasuki “suatu zaman dengan kemajuan besar,” kata Bush. Dia menyuarakan optimisme bahwa penggunaan energi nuklir yang lebih besar akan membantu bangsa Amerika selama era ini.
“Ekonomi kita sedang menciptakan pekerjaan baru. Juga menciptakan kebutuhan baru terhadap energi. … Dengan mengembangkan penggunaan kita terhadap nuklir, kita dapat membuat pasokan energi kita lebih andal, lingkungan yang lebih bersih dan bangsa kita lebih terjamin untuk generasi masa depan.”
“Saya optimistik tentang masa depan energi nuklir,” kata Bush.
Dari gambaran tersebut, tampaknya AS ingin menggairahkan kembali pengembangan energi nuklirnya untuk pembangkitan listrik setelah beberapa waktu lama mengalami masa stagnan. Amerika Serikat saat ini mengoperasikan PLTN paling banyak, sejumlah 104 dari 442 yang beroperasi di seluruh dunia.
AS juga telah memberikan perpanjangan izin operasi hingga 20 tahun berikutnya bagi 26 PLTN. Delapan belas pemohon baru sedang antri, dan 32 lagi telah mengajukan letters of intent, yang secara bersama-sama berkontribusi 75% dari pembangkit-pembangkit AS yang beroperasi. Tujuh PLTN AS yang mulanya mengalami perpanjangan pemadaman telah dihidupkan kembali sejak 1998. Juga tiga konsorsia perusahaan telah mengajukan permohonan resmi atas lisensi gabungan pembangunan dan pengoperasian, suatu opsi baru yang diperkenalkan oleh Komisi Pengawasan Nuklir Amerika Serikat (USNRC) untuk mempermudah perizinan dan mendorong sebuah PLTN baru pada 2010.
AS menaruh harapan besar terhadap nuklir untuk menggerakkan ekonomi dan kebutuhan masa depannya.
Selain itu, skenario masa depan tentang ekonomi hidrogen berbasis nuklir telah menjadi arus utama dalam kebijakan energi AS. Diharapkan generasi masa depan Amerika telah dapat berkendara menggunakan bahan bakar hidrogen yang dihasilkan dari pemanfaatan nuklir. Ini demi sebuah Amerika yang bersih, sehat dan lestari secara lingkungan dan kuat secara ekonomi untuk tetap memimpin dunia. Harapan dari sebuah bangsa yang berpandangan jauh ke depan. (Yaziz Hasan)

Kebangkitan Nuklir Asia

Di Asia, sejumlah pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) baru sedang berada di ufuk kebangkitan, pertanda meningkatnya kebutuhan listrik dan ekonomi energi.
Tujuh belas reaktor baru sedang dalam konstruksi dan sedikitnya sembilanbelas lebih telah direncanakan. Apa yang menggerakkan ini?
Bagi Korea Selatan ekonomi adalah kuncinya. PLTN dinilai sebagai sumber energi yang murah, berkelanjutan dan bersih. Menteri Sains dan Teknologi Korea Selatan, Dr. Young Bok Chae, berbicara dalam Konferensi Umum IAEA di Wina beberapa waktu yang lalu bahwa negaranya sedang dalam proses pembangunan delapan reaktor baru. “Korea memiliki 17 PLTN yang beroperasi, yang menyuplai lebih 40 persen pasokan listrik nasional. Tiga unit sedang dalam konstruksi, dan delapan unit lagi akan dibangun pada tahun 2015,” katanya.
Minat penuh Korea pada energi nuklir karena langkanya sumber daya energi konvensional yang dimilikinya dan kepedulian selanjutnya atas diversitas suplai dan keamanan, menurut Il Dong Kim, Manajer Senior, Korea Hydro and Nuclear Power. “Korea memiliki sumber daya energi alam yang sangat sedikit. Harga bahan bakar fosil sangat sedikit, padahal kami mengimpor banyak bahan bakar minyak, batu bara dan gas. Nuklir adalah bagian terpenting dari percampuran energi kami yang akan memungkinkan kami untuk memenuhi kebutuhan puncak saat ini dan di masa datang,” kata Dr. Kim. Memasukkan nuklir dalam pool energi juga dapat menjadi hedge yang bermanfaat dalam melawan harga bahan bakar dan nilai tukar yang volatil dan fluktuatif.
Terbitan IAEA terbaru dalam IAEA Nuclear Technology Review menemukan bahwa harga bahan bakar fosil yang tajam dan prioritas suplai energi yang tinggi juga merupakan faktor-faktor penting dalam keputusan-keputusan baru-baru ini yang diambil Cina, India dan Jepang untuk membangun PLTN baru. “Seperti pada masa-masa awal di negara-negara seperti Perancis, Jerman dan Swedia,” tulis laporan tersebut.

Berkomentar terhadap masa depan PLTN dalam pidato pembukaannya pada Konferensi Umum tersebut, Direktur Jenderal IAEA, Dr. Mohamed ElBaradei mengatakan: “Selama beberapa tahun, Saya telah menekankan bahwa masa depan PLTN akan bergantung pada mempertahankan rekaman keselamatan yang kuat, memperbaiki daya saing ekonomi, mendemonstrasikan solusi pengelolaan limbah dan pengembangan teknologi—pendeknya, memperkuat kembali dukungan publik.”
PLTN saat ini memproduksi listrik lebih banyak dari pada sebelumnya. Kinerjanya telah meningkat sekitar 11 % sejak 1990 hingga 2001.
Dalam bulan Mei 2001 Parlemen Finlandia telah memutuskan secara prinsip untuk membangun PLTNnya yang kelima. Itu merupakan keputusan pertama membangun reaktor baru di Eropa Barat selama 15 tahun. Hal serupa Pemerintah Amerika Serikat telah bertekad untuk memiliki sebuah PLTN baru yang akan beroperasi di Amerika Serikat sebelum akhir dekade ini. Itu akan menjadi PLTN pertama yang dibangun sejak akhir 1970-an.
Juga ada minat yang tumbuh dalam “perpanjangan usia” dari PLTN yang ada sekarang. Sepuluh reaktor Amerika Serikat telah diberi jaminan izin perpanjangan yang akan meningkatkan usia hidup reaktor hingga 60 tahun dan 37 PLTN lagi sedang mengajukan perpanjangan izin baru.
“Memperpanjang usia operasi PLTN yang ada secara ekonomis sangat aktraktif karena hanya membutuhkan pembelanjaan modal baru yang relatif kecil, dan mengurangi keperluan jangka pendek yang diperlukan dalam kapasitas pembangkitan baru; kendati, juga memerlukan perhatian khusus pada keselamatan peralatan dan sistem yang menua,” kata Dr. ElBaradei. Kira-kira sepertiga kapasitas nuklir terpasang di seluruh dunia adalah berusia lebih dari 20 tahun.
Masa depan nuklir akan sangat bergantung pada perbaikan yang berkelanjutan daya saing ekonomi PLTN-PLTN baru dalam pasar global, tulis laporan tersebut. Faktor-faktor lain yang menyumbang meliputi: harga bahan bakar fosil, prioritas yang diberikan pada keamanan pasokan energi, pengetatan pada emisi gas rumah kaca, tumbuhnya kebutuhan energi, ketidakpastian pengaturan dan inovasi serta iktikad politik untuk bergerak ke depan terhadap pembuangan limbah. (Yaziz Hasan)

Efisiensi dan Keberlanjutan Energi

Sejarah peradaban umat manusia ditandai oleh penggunaan energi yang bertumbuh pesat yang hingga akhir Revolusi Industri sebagian besar berasal dari sumber-sumber terbarukan. Adalah batu bara yang menghidupi tungku-tungku (tanur-tanur) dan pemanas-pemanas uap Revolusi Industri dari akhir abad ketujuh belas, dan yang menggerakkan transportasi keretaapi dan kapal-kapal uap. Selain sebagai sumber energi mekanik, batu bara juga digunakan dalam manufaktur gas batu bara untuk penerangan jalan dan dalam industri kimia. Pada kenyataannya, batu bara merupakan bentuk utama energi hingga 1900.
Penemuan-penemuan di permulaan abad ke sembilan belas memungkinkan penggunaan listrik dan menghadirkan hubungan dan interkonvertibilitas berbagai bentuk energi. Prinsip-prinsip kekekalan dan kualitas energi belum operatif hingga jauh kemudian. Sementara itu, pada tahun 1882, sistem pertama untuk menghasilkan dan mendistribusikan listrik pada sebuah kota besar dipasang. Ini merupakan permulaan fase kedua dalam industrialisasi melalui penglistrikan (elektri fikasi).
Menyusul sukses pertama pengeboran minyak pada 1859, Standard Oil, perusahaan minyak skala besar modern pertama, mengupayakan (mengusahakan) struktur vertikal pertama bagi pengendalian secara keseluruhan proses minyak. Itu meliputi ekstraksi dari ladang minyak (subsoil), penyimpanan, penyulingan dan distribusi final. Kelak, pertumbuhan derivatif, biaya ekstraksi yang lebih rendah dibandingkan dengan batubara dan kemudahan yang lebih besar dan ekonomi transportasi membuat minyak sebagai sumber energi dasar masyarakat modern.
Mesin bakar internal menyebabkan motorisasi dalam skala masif di darat, laut dan udara dan menjamin adanya pasar yang senantiasa bertumbuh konstan bagi minyak. Tahun 1940-an menandai permulaan industri petrokimia baru, yang menyebabkan peningkatan luar biasa sejumlah produk-produk baru: karet sintetik, plastik, obat-obatan, kosmetik, pernis, serat buatan, deterjen, pemusnah rumput, pupuk, butan, propan, dan lain-lain, membuka jalan bagi produk massal barang-barang konsumsi dan memperkenalkan zat-zat (bahan-bahan) baru dan non-biodegradabel ke lingkungan.
Setelah Perang Dunia II, program-program ambisius untuk menghasilkan listrik dari energi nuklir dimulai, untuk mendapatkan imbalan dari jumlah uang yang luar biasa yang ditanam.
Ekspansi ekonomi di Barat selama tahun 1950-an dan 1960-an terkait langsung dengan konsumsi minyak yang luar biasa pada waktu ketika energi dipandang melimpah- dan murah. Konsumsi energi selama dasawarsa-dasawarsa ini tumbuh secara eksponensial. Sektor-sektor industri yang berkembang paling cepat adalah industri-industri yang secara presis mengkonsumsi energi paling banyak–industri petrokimia, metalurgi, pabrik mobil, alat rumah tangga, pembangkit listrik dan lain-lain–dan trend yang berkembang terhadap barang-barang dan jasa dengan intensitas energi yang lebih tinggi. Sejak 1950, produksi energi yang menigkat telah digandrungi secara sistematis melebihi penggunaan rasionalnya. Hanya karena demikian sehingga peningkatan konsumsi energi telah dianggap sebagai suatu indikator kemajuan yang andal.
Krisis minyak 1973 dan 1980 memperlihatkan kerapuhan sistem energi yang selalu bergantung minyak. Perang di Teluk merupakan suatu pengingat dari apa yang menjadi taruhan bagi ekonomi Barat: akses bebas terhadap minyak murah di Timur Tengah. Adalah karena itu ketakutan terhadap kesulitan yang disebabkan krisis pertama yang menyebabkan perubahan sikap di negara-negara Barat: usaha-usaha diarahkan untuk memutus bebas dari ketergantungan ini, menganekaragamkan energi pengganti dan mempromosikan program-progam hemat energi.
Tahun 1980-an menandai perubahan dalam kesadaran orang tentang masalah-maslah lingkungan. Kerusakan yang terjadi makin terasa di makin banyak tempat dan akhirnya menjadi ancaman global bagi planet kita sebagai akibat sistem energi kita: komposisi atmosfer mengalami perubahan dan dapat menyebabkan perubahan iklim.
Menurut angka-angka sekarang 82% dari semua energi yang dikonsumsi di dunia adalah diproduksi dengan membakar bahan bakar fosil, 7,5% dari pembakaran biomassa, 5,2% dari penggunaan energi hidrolik dan 16% dari energi nuklir. Dengan kata lain, sebagian besar energi kita adalah tidak terbarukan: ia habis begitu kita memakainya, bersamaan dengan pertambahan penduduk; dan itu datang dari bahan bakar fosil, yang ketika dibakar meningkatkan jumlah C02 di atmosfir. Jika hal ini dikaitkan dengan masalah akses ke cadangan minyak, tumpahan tetap selama transportasi dan semua ragam ketidakseimbangan yang terlibat dalam sistem energi dunia, gambarannya jauh dari keberlanjutan.
Ketidakseimbangan menunjukkan: secara global, kurang dari seperempat populasi paling kaya di dunia mengkonsumsi hampir tiga perempat energi komersial dunia. Misalnya konsumsi tahunan rata-rata per kapita di Amerika Serikat adalah 26 kali lebih tinggi dari pada di India, konsumsi rata-rata seorang Norwegia adalah lebih dari tiga puluh kali konsumsi seorang Guatemala, dan konsumsi seorang Jepang 59 kali seorang Nigeria.
Ketidakseimbangan tersebut adalah kualitatif dan kuantitatif. Distribusi konsumsi energi per aktivitas sangat bervariasi dari satu kawasan ke kawasan lain.
Di Amerika Serikat, misalnya konsumsi perkapita dalam transportasi adalah sama dengan konsumsi untuk seluruh Jepang. Di Rusia industri mengkonsumsi secara proposional dua pertiga energi negara tersebut. Tiga perempat konsumsi kecil Sub-Sahara Afrika terkonsentrasi pada kegiatan rumah tangga, khususnya memasak dan penerangan, seringkali dengan peralatan-peralatan sangat sederhana dan sangat tidak efisien.
Listrik, yang menyimbolkan kemoderenan dan pembangunan bahkan memperlihatkan ketidakseimbangan yang lebih gamblang lagi, yang tidak dapat diakses oleh lebih dari 40% populasi dunia (lebih dari 2000 juta orang).
Juga ada perbedaan-perbedaan dalam suplai energi pada berbagai bagian dunia. Energi yang diturunkan dari bahan bakar fosil, seperti batu bara, gas alam dan khususnya minyak, mewakili lebih dari 80% suplai ke negara-negara industri, sementara seluruh sub-kontinen bersandar pada energi hidrolistrik dan khususnya kayu. Di Afrika Tengah, 70% energi yang dikonsumsi berasal dari kayu, di Brasil, tenaga air dan kayu bertanggung jawab lebih dari 60% suplai total. Ketidakseimbangan energi adalah biasa.
Untuk membangun, negara-negara berkembang di Selatan memerlukan energi. Berlanjut dengan ketidakefisienan sekarang dan model intensif energi tinggi dari pembangunan di Utara dan mengembangkannya ke Selatan sama sekali tidak substainable.
Membukakan jalan bagi masyarakat yang membuat penggunaan energi yang substainable (berkelanjutan) perlu melibatkan peningkatan dan perbaikan efisiensi energi, baik dalam teknologi suplai maupun dalam teknologi penggunaan akhir, pada saat yang bersamaan menggunakan sumber-sumber energi alternatif, baru dan yang terbarukan sebagai ganti bahan bakar fosil.
Memilih sistem yang tepat untuk mentransformasi sumber-sumber energi primer ke dalam jasa layanan energi seperti penerangan, pendinginan, memasak, tenaga mekanik, transportasi dan lain-lain dan memilih alat rumah tangga dan teknologi yang paling sesuai dalam masing-masing kasus adalah fundamental.
Pada level global, mengurangi pemakaian energi yang berlebih-lebihan dari masyarakat merupakan langkah-langkah awal menuju keberlanjutan energi, yang kelak dapat diwariskan ke generasi-generasi berikutnya.
Melihat trend yang demikian, pemanfaatan iptek nuklir yang terbukti cukup efisien tinggi akan menjadi jawaban yang tepat bagi keberlanjutan masa depan. (Yaziz Hasan/dari berbagai sumber)

Peran Nuklir pada Mitigasi Perubahan Iklim

Isu perubahan iklim karena pemanasan global dan dampaknya bagi kelangsungan hidup telah menjadi tema harian di berbagai media massa nasional selama sepanjang tahun ini. Isu tersebut semakin hangat saat Indonesia dipercaya sebagai tuan rumah penyelenggaraan Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) yang dilaksanakan di Bali, 3-14 Desember dan merupakan konferensi iklim terbesar dalam beberapa tahun terakhir yang bertujuan untuk menyepakati suatu pengaturan baru pasca Protokol Kyoto yang akan berakhir pada 2012 dan untuk membahas isu-isu masa depan tentang perubahan iklim.
Konferensi Bali dihadiri oleh lebih dari 10.000 perwakilan dari 189 negara, termasuk kalangan kepala negara/kepala pemerintahan, menteri luar negeri, menteri keuangan, menteri perdagangan dan menteri lingkungan, dan diliput oleh sekitar 1.200 jurnalis mancanegara. Para delegasi akan membahas empat isu utama perubahan iklim yaitu adaptasi, mitigasi, alih teknologi, dan pendanaan.
Sekjen PBB Ban Ki-moon meminta para pemimpin dunia yang bertemu pada Konferensi Bali agar mencurahkan usaha untuk menyelamatkan dunia dari dampak perubahan iklim. Ia menekankan bahwa pemanasan global telah menjadi agenda utama dunia dan karena itu berharap bahwa Konferensi Bali akan menjadi momentum dan keinginan kuat untuk bertindak mengatasi pemanasan global. Menurutnya, tujuan utama yang harus dicapai dalam konferensi di Bali adalah adanya kesepakatan yang menyeluruh dari semua negara untuk menangani perubahan iklim.
“Di Bali, kita harus menentukan agenda, peta jalan menuju kehidupan yang lebih baik, digabungkan dengan kerangka waktu untuk menghasilkan kesepakatan pada 2009,” ungkap Ban, mengacu kepada kesepakatan yang diharapkan akan timbul setelah Protokol Kyoto berakhir pada tahun 2012.
Ia mengatakan dirinya berjuang keras agar Konferensi Bali menjadi pertemuan yang sukses dalam upaya menghasilkan kesepakatan penanganan masalah pemanasan global pasca berakhirnya Protokol Kyoto. “Setiap hari selama berbulan-bulan saya melakukan pertemuan dan berbicara melalui telepon dengan para pemimpin di seluruh dunia. Saya akan terus melakukannya,” katanya, seperti dikutip media nasional.
Ia juga mengatakan bahwa sejak hari pertama menjabat sebagai Sekjen PBB, ia memang telah memusatkan perhatiannya terhadap masalah perubahan iklim. “Saya telah berkeliling ke Antartika, Amazon, Andes, Chad dan Afrika Tengah dalam upaya untuk menarik perhatian dunia terhadap masalah ini. Sekarang ke Bali, yang sejauh ini merupakan momen terbesar,” katanya.
Ia menyadari bahwa dunia hanya memiliki waktu dua tahun untuk mencapai kesepakatan pada tahun 2009. “Mungkin sulit, tapi kita tidak punya pilihan. Ilmu pengetahuan telah berbicara dengan jelas. Perdebatan sudah berakhir. Sudah saatnya kita membicarakan penyelesaian masalah ini. Kita jangan hanya berpikir untuk kita sendiri, melainkan juga untuk anak cucu kita nanti,” ujarnya.
Dampak pemanasan global sungguh telah mendatangkan permasalahan dan ancaman serius bagi dunia, termasuk Indonesia. Sebagai contoh, turunnya produksi pangan serta meningkatnya banjir akan semakin mengancam Indonesia. Itulah beberapa dampak pemanasan global menurut laporan sejumlah pakar yang tergabung dalam Panel Antar Pemerintah untuk Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change-IPCC) yang dirilis pada April lalu. Laporan berjudul Climate Change Impacts, Adaptation and Vulnerability tersebut menunjukkan dampak perubahan iklim yang sudah dan mungkin terjadi di masa depan.
Berdasarkan data lebih lengkap, laporan ini berkesimpulan bahwa perubahan suhu global yang terjadi akhir-akhir ini telah berdampak kepada banyak sistem fisik dan biologis alam.
Berdasarkan data IPCC, antara tahun 1970 hingga 2004, di Indonesia telah terjadi kenaikan suhu rata-rata tahunan antara 0,2 hingga 1 derajat Celcius, yang dapat mengakibatkan penurunan produksi pangan sehingga bisa meningkatkan risiko kelaparan, peningkatan kerusakan pesisir akibat banjir dan badai, peningkatan kasus gizi buruk dan diare, serta perubahan pola distribusi hewan dan serangga sebagai vektor penyakit.
Bila terjadi kenaikan suhu rata-rata global sebesar 1 hingga 2,5 derajat Celcius, 20 hingga 30 persen spesies tanaman dan hewan mungkin akan punah. Meningkatnya tingkat keasaman laut karena bertambahnya karbondioksida di atmosfer diperkirakan akan membawa dampak negatif pada organisme-organisme laut seperti terumbu karang serta spesies yang hidupnya bergantung pada organisme tersebut. Peningkatan suhu regional juga akan memberikan dampak negatif kepada penyebaran dan reproduksi ikan.
Daerah pantai akan semakin rentan terhadap erosi pantai dan naiknya permukaan air laut. Kerusakan pesisir akan diperparah oleh tekanan manusia di daerah pesisir. Diperkirakan pada 2080, jutaan orang akan terkena banjir setiap tahun karena naiknya permukaan air laut. Penduduk yang paling banyak terancam berada di delta-delta besar di Asia dan Afrika serta penduduk di pulau-pulau kecil.
Menurut IPCC, yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim adalah masyarakat miskin, karena kemampuan adaptasi yang rendah sebagai akibat minimnya sumberdaya yang dimiliki, selain karena kehidupan mereka cenderung sangat bergantung pada sumberdaya yang rentan terhadap kondisi iklim.
Usaha mengurangi gas rumah kaca sebaik apapun tidak akan mampu menghindarkan dampak perubahan iklim sepenuhnya, sehingga diperlukan usaha-usaha adaptasi terhadap dampak perubahan iklim tersebut. Curah hujan, kenaikan permukaan laut, banjir dan badai, kekeringan, gagal panen, serta kasus penyakit, merupakan contoh sebagian kecil data yang diperlukan untuk melakukan adaptasi perubahan iklim.
Laporan Climate Change Impacts, Adaptation and Vulnerability adalah ringkasan dari sebuah laporan lengkap dan ditujukan bagi para pengambil kebijakan. Laporan ini merupakan bagian kedua dari The Fourth Assessment yang dikeluarkan IPCC tahun ini. Pada Februari, IPCC telah mengeluarkan bagian pertama yang berjudul The Physical Science Basis yang memberikan bukti-bukti bahwa pemanasan global diakibatkan aktivitas manusia. Laporan ketiga mengenai mitigasi perubahan iklim dikeluarkan pada Mei lalu, dan sebuah Synthesis Report pada November ini telah melengkapi The Fourth Assessment, Climate Change 2007.
Sebagaimana diketahui, berbagai rangkaian pertemuan global yang diselenggarakan IPCC untuk penanggulangan perubahan iklim telah memusatkan perhatian pada pilihan teknologi yang tepat yang dapat diterapkan untuk menanggulangi dan memitigasi perubahan iklim. Di antara teknologi energi yang ada, nuklir dilihat sebagai sebuah pilihan yang andal untuk menghentikan emisi karbon.
Untuk itu Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) terus mendukung upaya IPCC dalam berbagai bidang, termasuk pilihan teknologi untuk menanggulangi perubahan iklim. Ratusan ilmuwan dan politisi dunia telah berpartisipasi dalam sidang-sidang yang diselenggarakan IPCC.
Dua laporan IPCC sebelumnya tahun ini menyatakan emisi gas rumah kaca dan akibat-akibatnya yang serius pada suhu global, yang dapat meningkat sebesar enam derajat Celsius pada 2100. Bahkan suatu peningkatan dua derajat Celcius dapat mengakibatkan hingga dua milyar penduduk kekurangan air bersih pada 2050 dan memungkinkan punahnya 20 persen sampai 30 persen spesies dunia, kata laporan IPCC.
Laporan ketiga dan terbaru meninjau secara luas pilihan teknologi untuk memitigasi perubahan iklim, yang meliputi langkah-langkah penghematan, mengurangi kebergantungan pada batu-bara dan gas alam, dan beranjak lebih jauh pada penggunaan energi nuklir dan energi terbarukan seperti angin. Laporan tersebut secara khusus memusatkan perhatiah pada cara-cara untuk membatasi atau mencegah emisi gas rumah kaca dan untuk memperbanyak kegiatan yang dapat menghilangkan emisi gas tersebut dari atmosfer.
IAEA, melalui laboratorium-laboratoriumnya, Departemen Sains dan Aplikasi Nuklir serta Departemen Energi Nuklir, senantiasa mendukung dan berkontribusi pada studi-studi perubahan iklim. Bahkan Bagian Perencanaan dan Studi Ekonomi Departemen Energi Nuklir, IAEA, secara khusus berperan serta dalam perundingan internasional untuk perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan, serta berkontribusi pada usaha-usaha IPCC. IAEA juga selalu berpartisipasi aktif dalam setiap pertemuan tentang bumi dan perubahan iklim dengan memusatkan perhatian pada sumbangan iptek nuklir bagi pencapaian tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan. IAEA dalam usulan-usulan kemitraannya yang terbaru terus memprakarsai perlunya partisipasi kemitraan dalam bidang-bidang lingkungan, air bersih, dan energi. Melalui partisipasinya tersebut, IAEA telah mendemonstrasikan bagaimana iptek nuklir menawarkan peralatan-peralatan yang berguna untuk menangani banyak isu langsung pada akar kemiskinan.
IPCC—sebuah badan gabungan Organisasi Meteorogi Dunia dan Program Lingkungan PBB—dibentuk pada 1988 untuk mengkaji informasi ilmiah, teknis dan sosial-ekonomi yang relevan terhadap pemahaman basis ilmiah risiko kemanusian karena perubahan iklim, dampak potensial dan pilihan-pilihan untuk menyesuaikan dan menanggulanginya.
Tampaknya untuk menghadapi ancaman serius masa depan manusia ini, tidak ada pilihan lain kecuali mencari pengganti energi fosil yang menjadi penyumbang terbesar efek rumah kaca. Energi terbarukan dan nuklir akan menjadi pilihan paling mungkin dan layak untuk diterapkan. Peranan energi pengganti non-fosil akan makin dominan di masa datang, dimana energi nuklir akan semakin memainkan perannya yang penting dalam menanggulangi ancaman serius atas kehidupan di Planet Bumi ini, karena PLTN sama sekali hampir tidak menghasilkan gas-gas rumah kaca. Rangkaian kegiatan pada energi nuklir, dari penambangan uranium hingga pembuangan limbah, dan termasuk konstruksi reaktor dan fasilitas, hanya memancarkan 2-6 gram karbon per kilowatt-jam. Ini kira-kira sama dengan yang dihasilkan oleh tenaga angin dan matahari, dan dua orde besaran di bawah batu-bara, minyak dan bahkan gas alam. Di seluruh dunia, jika 439 PLTN yang saat ini beroperasi dipadamkan dan digantikan dengan sumber non-nuklir lain, akibatnya akan terjadi peningkatan 600 juta ton karbon pertahun. Angka itu mendekati dua kali lipat dari jumlah total yang diestimasi harus dihindari menurut Protokol Kyoto pada 2010.
Kesulitan-kesulitan mencapai suatu pertumbuhan yang demikian besar dalam industri bahan bakar fosil plus risiko-risiko yang terkait lingkungan telah memperkuat desakan untuk mengadopsi lebih banyak penggunaan PLTN (dan pembangkit panas nuklir) di mana saja secara teknis dan ekonomis layak. Hal ini, mengingat PLTN telah terbukti dan mempunyai potensial paling besar dalam sumber-sumber daya yang menawarkan prospek jangka panjang untuk memenuhi meningkatnya kebutuhan energi dunia sambil tetap menjaga harga energi mendekati tingkat yang stabil.
Dengan demikian, penggunaan energi nuklir akan menghilangkan sumber dari beberapa masalah pemanasan global baik secara langsung dalam produksi listrik maupun di mana listrik nuklir menggantikan bahan bakar fosil, dalam pemanasan misalnya. Dalam operasi normal PLTN sangat sedikit menyebabkan kerusakan lingkungan dan bermanfaat bila mereka menggantikan pembangkit-pembangkit yang mengemisi CO2, SO2 dan NOx. Dalam kaitan ini mereka akan membantu mengurangi hujan asam dan membatasi emisi gas rumah kaca.
Memang karena kebutuhan yang meningkat terhadap listrik dan tekanan yang makin keras bagi solusi energi yang ramah lingkungan telah membuat negara-negara di dunia mempertimbangkan peran nuklir dalam kebijakan bauran energi mereka. Karena PLTN tidak menghasilkan gas rumah kaca, fasilitas tersebut merupakan rantai vital dalam sasaran kebijakan energi dan lingkungan.
Nuklir dapat mengurangi emisi gas rumah kaca nasional hingga 18 persen pada 2050, seraya menjadi pembangkit yang bersaing harga dengan pembangkit berbasis bahan bakar fosil, menurut laporan berjudul Review of Uranium Mining, Processing and Nuclear Energy in Australia, yang dilansir 21 November 2006.
”PLTN merupakan teknologi emisi rendah yang paling murah yang dapat menyediakan beban dasar, yang tersedia saat ini, dan dapat memainkan suatu peran dalam bauran pembangkitan energi masa depan Australia,” simpul satuan tugas, yang ditunjuk oleh PM John Howard Juni lalu. Negeri tersebut memiliki cadangan 38 persen uranium dunia dan memasok 23 persen pasar uranium dunia.
Di seluruh dunia, 439 PLTN menghasilkan 16 persen kebutuhan listrik dunia.
“Demi keamanan ekonomi dan keamanan nasional, AS harus segera secara agresif bergerak ke depan dengan membangun kembali PLTN-PLTN (baru),” kata Presiden AS, George Walker Bush, Jr, dalam pidato 23 Mei 2006 di hadapan karyawan Stasion Pembangkit Limerick, Pennsylvania, yang disambut tepuk-tangan meriah, seraya menegaskan kembali seruannya tentang kebijakan energi nuklir Amerika.
“Untuk mempertahankan kepimimpinan ekonomi kita, kita harus melakukannya lagi.” Energi Nuklir adalah penting bagi bangsa karena murah, bersih dan aman, kata Bush. “Tanpa energi nuklir, emisi karbon dioksida akan menjadi 28 persen lebih besar dalam industri listrik pada 2004. Tanpa daya nuklir, kita akan menambahkan sebanyak 700 juta ton karbon dioksida dalam setahun, dan itu hampir sama dengan emisi tahunan dari 136 juta mobil,” lanjutnya.
Sementara itu, beberapa negara Eropa berencana membangun PLTN-PLTN baru. Komisi Eropa menyetujui pembangunan PLTN baru di Perancis tahun lalu. Electricote de France akan membangun PLTN EPWR (European Pressurized Water Reactor), dengan daya keluaran 1.630 megawatt, di tapak Flamanville-nya di Normandia.
Santiago San Antonio, direktur jenderal FORATOM, mengatakan “keputusan Perancis tersebut menggambarkan suatu pengakuan yang jelas dan pengesahan yang kuat pada peran vital energi nuklir yang harus dimainkannya untuk menjamin keamanan pasokan energi, memerangi perubahan iklim dan menyediakan suatu pasokan listrik beban dasar yang aman, hemat dan wajar….Nuklir bukan hanya satu-satunya solusi, namun tidak ada solusi lain selain dia.”
Melihat trend yang demikian, pemanfaatan iptek nuklir yang telah terbukti berefisiensi tinggi akan menjadi jawaban yang tepat bagi keberlanjutan masa depan. Selanjutnya, pada level global, mengurangi pemakaian energi yang berlebih-lebihan dari masyarakat merupakan langkah awal menuju keberlanjutan energi, yang kelak dapat diwariskan ke generasi-generasi berikutnya, sesuai semangat Ban Ki-moon yang dikemukakannya menyambut Konferensi Bali. (Yaziz Hasan/dari berbagai sumber)

Peran Nuklir pada Penanggulangan Pemanasan Global

Dalam lima puluh tahun terakhir energi nuklir telah menjadi sumber utama listrik dunia dengan dasar pertimbangan ekonomi dan strategi sumber daya alam. Energi nuklir saat ini menyediakan 16 persen dari total listrik dunia dan akan terus berkontribusi lebih banyak lagi, teristimewa dengan meningkatnya kepedulian terhadap efek rumah kaca.
Dalam menyediakan listrik beban dasar, uranium terutama akan berkompetisi dengan batu bara, di mana penggunaan bahan bakar hidrokarbon skala besar untuk tujuan serupa akan menimbulkan masalah etika mengingat nilainya yang sangat berharga. Di banyak negara kebutuhan listrik bertambah lebih cepat dari pada kebutuhan energi secara keseluruhan. Hal ini karena dalam banyak keperluan di luar pemanasan, penggunaan listrik meningkatkan efisiensi dan dengan demikian menghemat energi.
Debat publik tentang manfaat dan risiko energi nuklir berkisar di sekitar pilihan dalam memproduksi listrik. Tidak ada satu pilihan pun tanpa risiko atau efek-efek sampingan.
Operasi reaktor nuklir telah menjadi lebih mantap dan lebih baik, dengan hasil bahwa output listrik dari nuklir telah meningkat jauh lebih cepat daripada jumlah dan kapasitas pembangkit yang membangkitkannya.
Teras reaktor dimuati dengan bahan bakar, yang biasanya uranium yang diperkaya 3,5 % hingga lebih dari 4% U-235, isotop fisil. Bahan bakar secara tipikal berbentuk pelet keramik UO2, dirakit di dalam tabung-tabung zircalloy atau stainless steel. Dalam reaktor bahan bakar ini dikelilingi oleh pendingin dan moderator. Moderator akan memperlambat neutron-neutron cepat yang berasal dari reaksi fisi berantai sehingga akan menimbulkan fisi lebih lanjut pada atom-atom U-235. Reaksi fisi ini menghasilkan panas yang digunakan untuk menghasilkan uap dan selanjutnya untuk menggerakkan turbin.
Saat ini 79% reaktor di dunia didasarkan pada hanya dua desain air ringan AS dan menyumbang 88% dari total kapasitas nuklir dunia.
Area prioritas perbaikan adalah meng-upgrade setiap aspek keselamatan dari reaktor-reaktor yang dirancang Rusia yang masih beroperasi di Eropa Timur dan Rusia. Secara lebih luas, industri tenaga nuklir telah membangun dan menyempurnakan teknologi reaktor untuk selama hampir lima dekade dan kini mulai diluncurkan generasi reaktor baru berupa generasi reaktor-reaktor maju. Generasi reaktor baru ini beroperasi dengan fitur-fitur keselamatan lebih ‘pasif’ yang bersandar pada gaya gravitasi dan konveksi alamiah. Mereka tidak memerlukan pengendalian aktif ataupun intervensi operasional untuk menghindari kecelakaan dalam keadaan malfungsi utama, atau setidaknya memberi cukup waktu untuk melakukan intervensi.
Yang pertama dari PLTN generasi baru ini telah dikomisioning di Jepang pada 1996, yang pembangunannya hanya memerlukan waktu empat tahun. Adanya generasi reaktor baru menjadi satu alasan bagi dorongan yang kuat untuk desain yang distandarisasi dalam reaktor-reaktor generasi baru, khususnya di AS di mana tiga desain baru kini telah mendapat pengakuan penuh.
Nuklir telah menunjukkan sangat kompetitif di beberapa negara dan akan tetap merupakan sumber energi sangat penting, khususnya ketika penggunaan energi dunia meningkat luar biasa dan proporsi listrik dalam peningkatan ini. Setengah abad pengalaman dalam penggunaan atom telah memberikan dasar yang kuat untuk melangkah lebih maju dengan teknologi lebih baru bagi generasi pembangkit nuklir terbaru dan bagi pengelolaan limbahnya.
Tidak ada teknologi konversi yang menghasilkan listrik tanpa risiko atau dampak lingkungan. Semua implikasi dari semua opsi yang ada perlu ditinjau secara seksama. Reaktor nuklir merupakan satu-satunya industri penghasil energi yang menyita tanggungjawab penuh untuk semua limbah dan biaya-biaya dalam produksinya.
Dengan pembangunan berkelanjutan sebagai etika yang menjadi pegangan, energi nuklir memiliki banyak hal yang dapat ditawarkan dalam hal sumber daya yang disuplainya dan karena secara lingkungan sangat ramah, dimana semua limbah yang dihasilkan dikendalikan dan dikelola secara ketat.
Kenyataannya bahwa nuklir tidak menghasilkan karbon dioksida membuat perannya menjadi sangat relevan dalam percampuran energi dunia. Tentu saja, ada beberapa emisi karbon dioksida pada berbagai tahap awal dan akhir dari daur bahan bakar nuklir, namun dalam jumlah yang dapat diabaikan. Beberapa negara maju di Eropa, dalam kaitan dengan pencapaian target emisi gas rumah kaca nasional, mustahil untuk mencapainya tanpa pengunaan nuklir secara substansial dalam pembangkitan listrik mereka. Sejak 1980 emisi karbon dioksida Perancis telah tereduksi sepertiga, begitu porsi nuklir dalam sistem listriknya naik menjadi 75%. Sebelumnya pemerintah Jerman mengakui bahwa target pengurangan emisi gas rumah kacanya secara total akan menjadi tidak realistis tanpa energi nuklir. Bagi Komisi Eropa menjadi sungguh jelas bahwa Uni Eropa tidak dapat membuat suatu dampak yang berguna pada emisi karbon dioksida tanpa menyandarkannya secara penuh pada energi nuklir.
Saat ini masalah pemanasan global menjadi pusat perhatian dengan tingkat mana energi nuklir dapat mengatasinya, dan meningkatkan perannya di masa depan. Dalam pertemuan-pertemuan internasional para ahli energi dan lingkungan dalam COP5 di Bonn, Jerman, diakui secara jelas peranan energi nuklir.
Energi nuklir telah menyumbang dalam menurunkan hampir dua setengah milyar ton emisi karbondioksida per tahun di seluruh dunia relatif terhadap batu bara, dengan kata lain jika 2400 TWh energi listrik dari nuklir dibangkitkan dengan menggunakan batu bara, maka akan dihasilkan 2,4 milyar ton karbondioksida. Setiap 22 ton uranium yang digunakan untuk listrik akan mengurangi emisi sekitar satu juta ton karbondioksida, relatif terhadap batu bara.
Saat kita memasuki abad kedua puluh satu, energi nuklir menawarkan kepada dunia suatu harapan besar secara lingkungan dan ekonomi dalam penyediaan listrik beban dasar skala besar. Namun, penerimaan publik tetap merupakan faktor kunci yang akan menentukan masa depannya, dan barangkali hanya warganegara yang cerdaslah yang telah mempunyai pengetahuan dan pemahaman nuklir yang tepat yang akan mengubahnya secara positif. (Yaziz Hasan/dari berbagai sumber)

Ancaman Bencana Iklim oleh Pemanasan Global

Beberapa waktu lalu, masalah pemanasan global pernah menjadi berita hangat di berbagai media dunia setelah Presiden AS, George W. Bush, secara eksplisit menentang Protokol Kyoto karena dianggap merugikan Amerika dan tidak perlu untuk meratifikasinya.
Presiden Bush tampaknya ingin menghindar dari kampanye untuk menekan pabrik agar tidak menghasilkan dampak samping berupa karbon dioksida, seperti yang diharuskan oleh Protokol Kyoto. Alasan dikeluarkannya surat itu, antara lain, karena protokol itu telah merugikan ekonomi Amerika. Karena, jika pabrik-pabrik itu menggunakan tenaga listrik, ongkosnya bakal membengkak. Di samping itu juga belum ada penyelesaian masalah perubahan iklim global serta tidak ada teknologi yang secara komersial dapat mengurangi dan menyimpan karbon dioksida. Sudah tentu keputusan ini menimbulkan kecaman dari kelompok pecinta lingkungan yang selama bertahun-tahun menekan pemerintah negeri itu agar mengurangi emisi zat perusak tersebut dari pabrik mereka.
Negara-negara industri sesungguhnya telah setuju untuk memangkas emisi mereka untuk menahan efek gas rumah kaca ini seperti tercermin dalam kesepakatan yang ditandatangani oleh sejumlah negara–dimana AS sendiri ikut sebagai penandatangan–di Kyoto, Jepang pada 11 Desember 1997.
Namun kantor-kantor lingkungan hidup Amerika Serikat maupun negeri-negeri Eropa, belum juga mampu bersepakat di dalam cara bagaimana melaksanakannya. Debat politik justru lebih dominan di seputar soal apakah meningkatnya suhu Bumi benar-benar berbahaya. Seperti terlihat ketika para delegasi dari sekitar 180 negara dengan pahit menyaksikan gagalnya konferensi perlindungan iklim di Den Haag, 16-24 November tahun lalu. Memang sebelumnya tidak banyak yang diharapkan dari konferensi itu. Gagasan perlindungan iklim global, lebih banyak dikaitkan dengan kepentingan masing-masing negara. Tampaknya banyak kepentingan yang bersifat mendesak atau sementara, sering lebih menjadi pertimbangan daripada kepentingan bersama-juga oleh negara adidaya seperti AS. Tidaklah mengherankan kalau persoalan polusi udara oleh buangan gas industri maupun pabrik-pabrik di negara berkembang sungguh bukanlah prioritas utama untuk dipikirkan.
Sejak KTT Bumi di Rio de Janeiro hampir sembilan tahun lalu yang melahirkan Agenda21, telah disadari adanya ancaman bencana iklim, namun tindakan nyata untuk mencegahnya masih abstrak.
Berdasarkan pengamatan para ahli lingkungan dan ahli meteorologi, dalam satu abad terakhir ini suhu permukaan Bumi mengalami kenaikan signifikan. Kecenderungan itu juga didukung oleh data dari hasil pemantauan satelit. Sebagaimana diberitakan, para ilmuwan di London baru-baru ini menampilkan bukti-bukti baru tentang peningkatan gas rumah kaca yang akan menjadian caman bagi lingkung an di planet kita ini.
Bukti baru ini merupakan data pertama yang berasal dari luar angkasa yang diperoleh berkat hasil kerja sekelompok peneliti Inggris. Mereka mengamati spektrum gas-gas di atmosfir Bumi selama hampir 30 tahun terakhir. ”Ini merupakan yang pertama kalinya kami mengamati bahwa perubahan ini benar-benar terjadi dan efeknya akan menyerang iklim di Bumi,” kata Dr Helen Brindley, ahli atmosfir dari Imperial College, seperti dikutip CNN.com.
Data baru ini diambil selama 27 tahun dari dua satelit yang mengorbit bumi. Data-data inilah yang pertama kalinya menunjukkan adanya bukti bahwa memang telah terjadi peningkatan gas rumah kaca.
”Kami melihat adanya peningkatan gas rumah kaca. Maka kita dapat mengaitkan perubahan dalam radiasi gelombang panjang. Inilah yang dipercaya menjadi faktor penyebab perubahan iklim,” ungkap Brindley. Dengan membandingkan dua set data yang ada, Brindley dan rekan-rekannya menemuk an adanya perubah an emisi gas rumah kaca secara konsis ten selama 27 tahun.
Dalam membandingkan data ini, para saintis mem bandingkan data dari wilayah di atas Samudera Pasifik dan keseluruhan bola Bumi. Ini dilakukan untuk mengkalkulasi perbedaan tingkat asmosfir, metan, karbondioksida (CO2), ozon dan kloroflurokarbon.
Di dalam studi tersebut para peneliti membandingkan data-data dari satelit ADEOS milik Jepang yang menghasilkan data-data selama sembilan bulan sejak tahun 1997, dan satelit Nimbus-4 milik NASA antara April 1970 dan Januari 1971.
Dengan membandingkan pengamatan satelit dari tahun 1970 dan 1997, para peneliti ini menyatakan bahwa penumpukan gas yang terperangkap efek rumah-kaca telah menekan jumlah radiasi infra merah yang bisa lolos ke angkasa. Gas-gas yang terperangkap itu antara lain karbondioksida, metan, dan ozon.
“Kami percaya penuh, jelas tak ada keraguan lagi. Ini menunjukkan bahwa efek rumah-kaca memang nyata-nyata ada, dan apa yang kami saksikan memang benar-benar peningkatan gas-gas itu,” tandas John Harries, pimpinan peneliti, juga dari Imperial College, London.
Menurut studi ini, efek rumah-kaca bisa mengawali sebuah siklus di mana lebih banyak awan terbentuk, menghalangi energi matahari untuk mencapai permukaan Bumi. Tutur Harries, “Akibat dari penggumpalan awan-awan terhadap planet ini sangat kompleks, dan secara jujur kami harus mengaku belum memahaminya.”
Sementara itu, sebuah laporan yang disiarkan bulan Januari lalu di Cina oleh sebuah panel internasional mengemukakan ramalan bahwa suhu global bisa meningkat sampai 5,8 derajat Celsius pada abad mendatang, terutama akibat polusi. Sementara laporan lain dari NASA Goddard Institute for Space Studies menyebutkan, peningkatan karbondioksida (CO2) sebagai akibat dari aktivitas manusia. Dalam catatan lembaga ini tampak bahwa kehadiran karbon dioksida meningkat dari angka satuan 280 ppmv (parts per million by volume) pada tahun 1850 menjadi 360 ppmv pada hari-hari ini. Ini jelas merupakan peningkatan yang signifikan.
Perubahan suhu tentu juga berakibat lain lagi. Sebuah laporan yang disiarkan pertengahan Februari 2001 lalu mengungkap bahwa perubahan iklim akibat efek rumah-kaca bisa melanda berbagai kepulauan tropis sampai kawasan bermain ski di Pegunungan Alpen. Ada dugaan bahwa negeri-negeri miskin akan sangat menderita, namun negara-negara kaya tidak juga terhindar.
Ramalan berdasar berbagai data maupun studi sebelumnya menyebut bencana semacam banjir besar maupun tanah longsor sebagai sebagian akibat langsung perubahan iklim ini. Ada bahaya meningkatnya permukaan air laut di berbagai kawasan berpenduduk padat sejak Mesir sampai Polandia, dan Vietnam.
“Perubahan iklim selama abad ke-21 ini bisa menyeret perubahan besar-besaran dan mungkin tak terkendali dalam sistem semesta Bumi,” tandas laporan tersebut yang berasal dari riset Perubahan Cuaca 2001: Dampak, Penyesuaian, dan Ketersasarannya yang dikerjakan oleh 700 orang ilmuwan.
Tanda-tanda ke arah itu sudah mulai nampak. Misalnya saja di abad ke 20, terjadi 10 kasus tahun terpanas sepanjang abad, yang terjadi hanya dalam kurun waktu 15 tahun terakhir. Tahun 1998 tercatat sebagai tahun terpanas di abad ke 20. Dampaknya telah terlihat jelas, misalnya ketika terjadi kebakaran hebat hutan di Indonesia, Brazil, Australia atau negara lainnya beberapa tahun lalu. Kemarau panjang yang memusnahkan panen di Afrika. Serta bencana iklim lainnya akibat fenomena El-Nino. Pemanasan global menyebabkan mencairnya lapisan es di kutub utara, serta lautan es di Antartika. Sebagai akibatnya muka air laut global, naik sampai 25 sentimeter di abad terakhir ini. Terjadi ketidakseimbangan iklim, dimana di suatu tempat penguapan berlangsung amat cepat, dan di tempat lainnya turun hujan amat lebat. Keduanya menyebabkan bencana, yakni kekeringan di satu tempat serta bencana banjir di tempat lainnya.
Dari trend itu terbaca, apa akibat terburuknya jika iklim global terus meningkat. Namun ancaman bencana ini cenderung diabaikan. Kenyataan menunjukkan, jumlah pencemaran gas rumah kaca dari tahun ke tahun terus meningkat. Salah satu jenis gas rumah kaca, yakni karbon-dioksida emisinya terus meningkat. Jika pada tahun 1990 tercatat emisi sebesar 1,34 milyar ton, maka pada tahun 1997 angkanya sudah mencapai 1,47 milyar ton. Sumber utama CO2 adalah pembakaran bahan bakar fossil.
Emisi CO2 dari 30 negara maju saja, yang berpenduduk 20 persen dari penduduk dunia, menyumbang dua pertiga emisi salah satu gas rumah kaca tersebut. Sedangkan negara berkembang yang berpenduduk 80 persen dari total dunia hanya sepertiga emisi CO2. Dari sektor transportasi di AS saja emisi CO2 lebih besar dari total emisi seluruh dunia di sektor tersebut.
Kemewahan hidup warga di negara-negara maju, tetap harus dibayar mahal oleh negara berkembang. Bumi ini hanya satu harus dilindungi dan dipelihara secara global. Lubang ozon atau efek rumah kaca bukan hanya problem yang dihadapi oleh negara maju, tetapi juga masalah yang sangat krusial bagi negara miskin. Kemewahan menggunakan mobil di negara-negara maju, harus dibayar dengan gagal panen, kekeringan dan kelaparan di Afrika. Atau juga banjir besar dan hancurnya infrastruktur di Asia dan Amerika Selatan. Sudah banyak bukti menunjukan, pola iklim dalam beberapa dekade ini berubah drastis. Para menteri lingkungan Uni Eropa sudah memperingatkan, akan berbagai bencana yang muncul belakangan ini. Angin badai, banjir besar, kekeringan, kebakaran hutan atau juga semakin seringnya muncul gejala El-Nino merupakan pertanda awal dari bencana iklim. Bumi mungkin tidak akan menderita karenanya, namun nasib 6 milyar manusia di Bumi yang dipertaruhkan.
Memang, kekhawatiran terhadap efek rumah-kaca dan akibat-akibat yang mungkin timbul telah menjadi isu publik selama ham pir tiga dekade terakhir di abad yang baru saja lewat.
Akibat dari pemanasan global itu telah terjadi perubahan iklim dunia yang menimbulkan kerugian dari dampak bencana alam. Di Indonesia sendiri, pada tahun 2000 telah terjadi 33 bencana banjir, kebakaran hutan, dan enam bencana angin topan. Kerugian yang diderita mencapai 150 milyar dollar AS dan korban jiwa 690 orang. Kerugian dunia mencapai 300 milyar dollar AS per tahun akibat dampak perubahan iklim, sebagaimana diungkapkan oleh UNEP (Badan PBB untuk program lingkungan) yang diumumkan di Nairobi, ketika konferensi ke- 21 UNEP, 5-9 Februari lalu. Hal ini diungkapkan UNEP dalam sebuah laporannya, dimana untuk mengatasi efek dari pemanasan global pada 50 tahun mendatang memer lukan dana sekitar 300 miliar dolar AS.
Menurut Klaus Toepfer, Direktur Eksekutif UNEP, mengurangi saja tidak cukup, menurutnya kita harus bekerja untuk menghapuskan emisi gas rumah kaca.
Menurutnya, kerusakan ini umumnya disebabkan oleh kegiatan industri yang terus berkembang. Ia juga berpendapat perlunya membantu negara-negara yang sedang berkembang agar bisa beradaptasi terhadap dampak kenaikan suhu global.
Tampaknya untuk menghadapi ancaman serius masa depan manusia ini, tidak ada pilihan lain kecuali mencari pengganti dari energi fosil yang menjadi penyumbang terbesar efek rumah kaca. Energi-energi yang dapat terbarukan dan nuklir akan menjadi kandidat yang paling mungkin dan layak untuk dipertimbangkan. Peranan energi pengganti non-fosil akan makin dominan di masa datang, dimana energi nuklir akan semakin memainkan perannya yang penting dalam menanggulangi ancaman serius atas kehidupan di Planet Bumi ini. (Yaziz Hasan/dari berbagai sumber)

Prospek Energi Nuklir

Dua puluh dua dari 31 PLTN baru yang siap disambungkan ke jala-jala listrik Dunia telah dibangun di Asia, yang digerakkan oleh pertumbuhan ekonomi, kelangkaan sumber daya alam dan peningkatan pertumbuhan penduduk. Dari 27 PLTN-PLTN baru yang saat ini sedang dibangun, 18 berada di Asia, sementara perkembangan mengalami pelambatan di negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara dengan program energi nuklir yang pasif, menurut Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA).
IAEA melaporkan bahwa meski empat negara Eropa Barat telah memutuskan untuk menutup PLTN mereka, masa depan energi nuklir di Eropa dan Amerika Utara masih jauh dari cerah, selama suatu periode ketika kebutuhan energi dan keprihatinan terhadap pemanasan global keduanya sama-sama meningkat. Baru satu PLTN baru yang sedang memulai proses pembangunannya di Eropa Barat. Belum ada PLTN baru yang direncanakan di Amerika Utara, meskipun hal itu dapat berubah sangat cepat.
“Makin kita melihat ke masa depan, makin kita mengharapkan negara-negara untuk dapat mempertimbangkan manfaat-manfaat potensial dari pengembangan energi nuklir yang dapat disumbangkannya pada lingkungan global dan pada pertumbuhan ekonomi,” kata Mohamed ElBaradei, Direktur Jenderal IAEA, di hadapan 500 ahli energi nuklir yang berkumpul di Moskow dalam Konferensi Internasional tentang nuklir yang bertajuk “International Conference on Fifty Years of Nuclear Power – the Next Fifty Years” (27 June – 2 July).
“Keputusan untuk mengadopsi nuklir tidak dapat dibuat pada basis ‘satu ukuran untuk semua’,” tambah Dr. Elbaradei, “PLTN-PLTN baru adalah paling atraktif ketika kebutuhan energi bertumbuh dan sumber-sumber alternatif pun langka, dan ketika keamanan energi nuklir dan pengurangan polusi udara serta gas-gas rumah kaca menjadi prioritas utama. Meski ada beberapa negara belum mempertimbangkan energi nuklir dalam penganekaragaman energi mereka oleh karena keprihatinan terhadap keselamatan dan limbah nuklir.”
Konferensi membahas status dan masa depan energi nuklir 50 tahun setelah energi nuklir pertama kali ‘masuk jaringan’ listrik, dari sebuah pembangkit dekat Moskow pada 26 Juni 1954 silam.
Prospek Nuklir dalam Jangka Pendek dan Panjang
Para ahli IAEA menerbitkan proyeksi berkala tentang keluaran energi nuklir di masa depan dan bagaimana kalau dibandingkan dengan jumlah daya listrik yang dihasilkan dari sumber-sumber konvensional, berbahan-bakar fosil dan sumber-sumber alternatif. Namun, karena proyeksi ini bergantung pada keputusan-keputusan politik yang belum dilakukan di beberapa negara, IAEA membuat proyeksi ‘tinggi’ dan ‘rendah’.
Proyeksi ‘rendah’ mengasumsikan bahwa PLTN saat ini akan pensiun sesuai jadwal, dan tidak ada yang baru yang akan dibangun selain yang sedang dalam pembangunan atau yang sudah direncanakan. Menurut proyeksi ini, jumlah listrik nuklir yang dihasilkan, dalam kilowatt-jam, akan terus bertambah hingga 2020, namun akan tumbuh secara lebih lambat dibanding sumber-sumber listrik lain. Akibatnya, sumbangan nuklir pada listrik dunia akan turun dari 16% saat ini menjadi 12% pada 2030.
Proyeksi ‘tinggi’, yang memasukkan proposal-proposal tambahan yang beralasan bagi pembangunan PLTN baru, memperlihatkan ekspansi yang mantap. Pada proyeksi ini, energi nuklir akan membangkitkan 70% lebih listrik dunia pada 2030 daripada 2002, namun pembangkitan listrik total dari semua sumber akan tumbuh jauh lebih banyak.
Namun proyeksi yang jauh lebih kontras datang dari tinjauan analisis jangka panjang Panel Antarpemerintah pada Perubahan Iklim (IPCC-Intergovernmental Panel on Climate Change), Badan Energi Internasional (IEA) dan lain-lain. Ketimbang hanya menarik trend sebagaimana adanya, analisis jangka panjang telah menghitung energi total yang diperlukan untuk meningkatkan standar hidup di seluruh dunia untuk populasi global yang sedang bertumbuh. Mereka juga memperhitungkan menyusutnya sumber-sumber bahan-bakar fosil dan menyandarkan lebih pada apa yang optimal secara ekonomi dalam jangka panjang dan kurang pada status-quo sosio-politik saat ini. Dengan memperhitungkan faktor-faktor ini, estimasi rata-rata, berdasarkan analisis IPCC, energi nuklir akan meningkat 2,5 kali pada 2030, ekivalen dengan 27% produksi listrik total. Pada 2050, estimasi rata-rata dari analisis jangka panjang adalah bahwa energi nuklir akan melipat-empatkan output totalnya. Perpektif jangka panjang dengan demikian memberikan peran yang lebih besar pada nuklir daripada dalam perpektif jangka pendek.
PLTN saat ini: Bergeser ke Timur
Energi nuklir menghasilkan 16% (kira-kira seperenam) listrik dunia. Ada 442 PLTN yang beroperasi di 30 negara. Sebagian besar PLTN beroperasi di Eropa Barat dan Amerika Utara, namun sebagian besar PLTN baru yang sedang dibangun adalah berada di Asia. PLTN-PLTN yang berada di seluruh dunia, kini telah menjadi lebih produktif, dengan menambahkan kapasitas pembangkitan tanpa pembangunan PLTN baru.
Amerika Serikat memiliki paling banyak PLTN dengan jumlah 104. Lithuania mendapatkan 80% listriknya dari nuklir, paling tinggi di dunia. Perancis berada di tempat kedua, dengan angka 78%. Hanya 39 dari 442 PLTN dunia yang berada di negara berkembang, dan karena mereka lebih kecil dari rata-rata, mereka mencatat hanya 5,6% kapasitas nuklir dunia. Namun Brazil, Cina dan India semuanya memiliki program PLTN. Tiga negara ini mencakup 40% populasi dunia, dengan Cina dan India khususnya merencanakan ekspansi nuklir yang signifikan.
Delapan belas dari 27 PLTN yang kini sedang dibangun berada di Asia. Dua puluh dua dari 31 PLTN baru terakhir yang akan mulai beroperasi juga berada di Asia. Di urutan kedua dalam pengertian pembangunan baru berada di Eropa Timur, termasuk Rusia, dengan 8 PLTN sedang dibangun. Empat negara Eropa Barat —Jerman, Belgia, Belanda dan Swedia—baru-baru ini mempunyai kebijakan phase-out nuklir, dan yang lainnya melarang nuklir. Namun yang lain secara eksplisit telah mengakui arti nuklir. Bulan Mei lalu, misalnya, para pemilih Swiss telah menolak referendum phase-out dengan dua banding satu. Bahkan pembangunan segera akan dimulai pada sebuah PLTN baru di Finlandia pada 2005, dan Perancis kemungkinan segera mengambil langkah-langkah untuk menggantikan ‘nuklir dengan nuklir’ begitu pembangkit-pembangkitnya mencapai usia pensiun.
Di Amerika Utara, perpanjangan izin operasi hingga 20 tahun berikutnya telah disetujui bagi 26 PLTN Amerika Serikat. Delapan belas pemohon baru sedang antri, dan 32 lagi telah mengajukan letters of intent, yang secara bersama-sama berkontribusi 75% dari pembangkit-pembangkit Amerika Serikat yang beroperasi. Tujuh PLTN Amerika Serikat yang mulanya mengalami perpanjangan pemadaman telah dihidupkan kembali sejak 1998 dan tiga unit di Kanada telah diaktifkan kembali sejak dua tahun terakhir. Juga tiga konsorsia perusahaan telah memulai permohonan resmi atas lisensi gabungan pembangunan dan pengoperasian, suatu opsi baru yang diperkenalkan oleh Komisi Pengawasan Nuklir Amerika Serikat (USNRC) untuk memudah perizinan dan mendorong sebuah PLTN baru pada 2010.
Isu Perubahan Iklim
PLTN sama sekali hampir tidak menghasilkan gas-gas rumah kaca. Rangkaian kegiatan pada energi nuklir, dari penambangan uranium hingga pembuangan limbah, dan termasuk konstruksi reaktor dan fasilitas, hanya memancarkan 2-6 gram karbon per kilowatt-jam. Ini kira-kira sama dengan yang dihasilkan oleh tenaga angin dan matahari, dan dua orde besaran di bawah batu-bara, minyak dan bahkan gas alam. Di seluruh dunia, jika 440 PLTN dipadamkan dan digantikan dengan sumber non-nuklir lain, akibatnya akan terjadi peningkatan 600 juta ton karbon pertahun. Angka itu mendekati dua kali lipat dari jumlah total yang diestimasi harus dihindari menurut Protokol Kyoto pada 2010.
Beberapa negara yang telah meratifikasi Protokol Kyoto sedang mengimplementasikan langkah-langkah finansial untuk memperkecil emisi gas rumah kaca. Hal terpenting adalah Skema Perdagangan Emisi (ETS) baru yang berlaku mulai 1 Januari 2005 di Uni Eropa. Di Asia, baik Jepang maupun India secara eksplisit telah mengidentifikasi PLTN sebagai bagian kunci dari strategi pengurangan gas rumah kaca mereka.
Setelah 2008-2012 periode komitmen Kyoto pertama program nuklir ambisius di beberapa negara berkembang seperti Cina dan India akan menjadi istimewa penting untuk membatasi emisi gas rumah kaca global. Jika trendnya tetap sama, emisi gas rumah kaca dari negara-negara berkembang agaknya akan melampaui emisi dari negara-negara maju tidak terlalu lama setelah 2030. Pada 2003, India hanya menghasilkan 3,3% listriknya dari nuklir, dan Cina hanya 2,2%.
Cina dan India, di mana 9 PLTN telah dioperasikan dalam 4 tahun terakhir dan 10 lagi sedang dibangun, mengalami pertumbuhan kebutuhan listrik yang cepat. Kedua negara juga menekankan rendahnya polusi udara dan emisi gas rumah kaca dari PLTN.
Jepang dan Korea Selatan, di mana sumber alternatif jauh lebih kecil, telah mengoperasikan 4 PLTN baru dalam 3 tahun terakhir, dan sedang membangun 3 lagi. Karena kedua negara ini sangat rentan dengan terputusnya suplai minyak dan gas, dua keunggulan suplai nuklir menjadi daya tarik. Pertama, bahan bakan nuklir jauh lebih kompak dari pada batu-bara, minyak atau gas alam. Bahan bakar nuklir dapat disimpan bertahun-tahun di pusat pembangkit daya, menjadikannya tidak terganggu oleh terputusnya suplai bahan bakar. Kedua, deposit uranium tidak terkonsentrasi secara geografis seperti sumber daya minyak dan gas dunia. Uranium dilaporkan ada di 43 negara dengan kuantitas cukup berarti di semua benua. Pada 2003, Australia, Canada dan Amerika Serikat menyumbang lebih dari 50% uranium yang ditambang.
Selain itu, beberapa negara berkembang yang saat ini belum mengoperasikan PLTN telah melakukan pendekatan ke IAEA guna mendapatkan nasihat dan analisis yang obyektif terhadap kelayakan nuklir dalam memenuhi kebutuhan listrik mereka, dan jika sesuai, juga meminta bantuan persiapan proyek dan perencanaan pengadaan PLTN.

Isu Kunci: Keselamatan dan Limbah
Isu kunci yang menjadi perhatian utama publik adalah yang menyangkut masalah keselamatan dan pengelolaan limbah. Bagaimana penanganan persepsi publik atas isu ini akan mempengaruhi masa depan nuklir.
Meskipun kemajuan substansial telah banyak dicapai dalam perbaikan kinerja operasi yang aman pada instalasi nuklir selama bertahun-tahun, sejumlah isu terus berlanjut. Sejak teknologi nuklir terus menyebar dan makin banyak negara membangun desainnya sendiri, diversifikasi resultan menggarisbawahi pentingnya: jaminan kualitas; pengelolaan dan pembagian pengetahuan; standar keselamatan yang diterima secara internasional dan digunakan bersama; menyeimbangkan perlunya keselamatan dan keamanan; promosi kerjasama dan berbagi pengalaman di antara otoritas pengawas; dan adaptasi praktek vendor dan kontraktor internasional terhadap beragam budaya dari negara-negara dengan program-program nuklir baru.
Analisis dari peristiwa-peristiwa keselamatan yang dilaporkan memunculkan praktek operasional yang kadang-kadang mengarah pada perlunya perbaikan di dalam otoritas pengawas dan organisasi pengoperasi. Dan sejumlah isu terkait dengan operasi jangka panjang fasilitas nuklir—seperti penuaan peralatan—memerlukan perhatian lebih lanjut. IAEA terus bekerja menuju pengembangan konsensus internasional pada pendekatan yang berhubungan dengan isu-isu ini. Untuk itu, IAEA telah melaksanakan ratusan misi ahli untuk memperbaiki desai dan operasi PLTN.
Salah satu komponen kunci komitmen global terhadap keselamatan PLTN adalah Konvensi Keselamatan Nuklir. Sebelum tiap-tiap pertemuan yang diselenggarakan, negara-negara mengajukan laporan nasional masing-masing tentang semua fasilitas nuklir mereka dan bagaimana mereka memenuhi kewajiban diatur dalam Konvensi. Laporan nasional ini kemudian diulas oleh pihak lain dan diperdebatkan secara terbuka serta pertanyaan dan kritik dipertukarkan.
“Garis dasarnya adalah bahwa telah ada pengakuan internasional secara luas dan komitmen terhadap prinsip bahwa operasi PLTN harus berpusat pada keselamatan, pertama dan yang terutama,” kata Tomihiro Taniguchi, Deputi Direktur Jenderal IAEA untuk Bidang Keselamatan Nuklir.
Bahan bakar bekas yang dihasilkan PLTN di antaranya mempunyai radioaktivitas tinggi. Meskipun volumenya sangat kecil—semua bahan bakar bekas yang dihasilkan per tahun oleh 442 PLTN dunia akan menutup ruang seluas lapangan sepak bola dengan kedalaman hanya 1,5 meter—namun haruslah dikungkung secara aman untuk waktu yang paling lama. Saat ini bahan-bakar bekas disimpan terutama di tempat PLTN yang menghasilkannya.
Untuk jangka panjang, masyarakat ilmiah dan teknik umumnya sepakat bahwa limbah tingkat tinggi dan bahan bakar bekas dapat disimpan secara aman dengan penguburan yang dalam secara geologis di dalam formasi batu cadas, garam dan lempung yang sesuai, menggunakan penghalang-penghalang alamiah dan buatan untuk mengisolasi limbah. Finlandia, Swedia dan Amerika Serikat telah melakukan kemajuan nyata. Pemerintah dan parlemen Finlandia telah menyetujui secara prinsip keputusan untuk membangun penyimpanan akhir bahan bakar bekas dekat Olkiluoto. Pembangunan akan dimulai pada 2011 dan beroperasi pada 2020. Swedia telah memulai penyelidikan geologis yang rinci pada dua calon tapak dan mengharapkan dapat membuat proposal tapak final pada 2007. Pada 2002, Presiden dan Kongres Amerika Serikat telah memutuskan untuk terus melanjutkan tapak pembuangan di Pegunungan Yucca di Nevada, dengan operasi direncanakan mulai pada 2010. Namun, di beberapa negara di dunia belum ada kemajuan berarti dalam pengembangan penyimpanan buangan limbah tingkat tinggi dan bahan bakar bekas—dan penyelesaian isu ini tampaknya menjadi faktor kunci yang akan mempengaruhi masa depan PLTN.
Secara internasional, IAEA telah membantu Negara Anggotanya dalam pengembangan pengelolaan limbah dan strategi pembuangan, dan secara aktif memfasilitasi kerjasama dalam riset-riset pembuangan limbah dan proyek-proyek demonstrasi. Pada 2003 telah diselenggarakan Review Meeting pertama pada Konvensi Gabungan Keselamatan Pengelolaan Bahan Bakar Bekas dan Keselamatan Pengelolaan Limbah Radioaktif. Konvensi Gabungan merupakan satu-satunya instrumen internasional yang mengikat secara legal dalam bidang ini. Ia telah menekankan fakta bahwa hanya sedikit negara yang kini mempunyai rencana tegas bagi pembuangan bahan-bakar bekas mereka dan bermaksud, antara lain, untuk memecut negara-negara lain untuk menetapkan strategi-strategi jangka panjang sesegera mungkin.
Juga ada minat yang diperbarui pada kemungkinan penyimpanan internasional, baik karena opsi domestik yang terbatas bagi pembuangan limbah maupun karena proposal baru untuk memperkokoh rezim non-proliferasi global melalui kontrol internasional bagian-bagian penting daur bahan bakar nuklir, seperti pengayaan uranium dan pengelolaan bahan bakar bekas. IAEA secara aktif mendorong isu ini dalam hubungannya dengan studi pengawasan multilateral yang mungkin terhadap daur bahan bakar nuklir.

Inovasi Nuklir
Sebagian besar PLTN baru dalam waktu dekat akan merupakan desain ‘evolusioner’ yang dibangun pada sistem yang telah terbukti sambil memadukan kemajuan teknologi dan kadang kala dengan memperhatikan ekonomi skalanya. Contoh pengembangan evolusioner adalah desain Reaktor Air Tekan Eropa (EPR) yang oleh perusahaan energi TVO Finlandia baru saja dipilih sebagai PLTN barunya, Olkiluoto-3.
“Dalam jangka panjang, desain inovatif baru, dengan waktu konstruksi yang lebih pendek dan secara signifikan memperkecil biaya modal dapat membantu mempomosikan sebuah era baru PLTN,” kata Yuri Sokolov, Deputi Direktur Jenderal IAEA untuk Bidang Energi Nuklir. Sekitar 20 Negara Anggota IAEA saat ini terlibat dalam pengembangan reaktor inovatif dan desain daur bahan bakar. Sokolov menekankan bahwa hal itu akan berhasil, teknologi-teknologi inovatif hendaknya menjawab isu-isu yang terkait keselamatan nuklir, proliferasi dan penghasilan limbah—dan harus mampu menghasilkan listrik pada harga yang kompetitif. Ini berarti menyandarkan secara lebih besar pada sistem keselamatan pasif, pengendalian yang lebih baik pda bahan nuklir, dan keunggulan-keunggulan desain yang memungkinkan pengurangan waktu konstruksi dan memperkecil biaya pengoperasian. IAEA telah mempromosikan inovasi melalui Proyek Internasional pada Reaktor Nuklir Inovatif dan Daur Bahan Bakar (INPRO)-nya dan bekerja sama dengan proyek-proyek inovasi nasional dan internasional lainnya, seperti Forum Internasional Generasi IV yang diprakarsai Amerika Serikat.
Terkait dengan sumber-sumber terbarukan, akan ada kebutuhan yang lebih besar di masa depan terhadap energi nuklir dengan keberhasilan pengembangan kendaraan-kendaraan yang digerakkan oleh sel bahan bakar hidrogen. Hidrogen dapat diproduksi dari air menggunakan listrik, produk utama nuklir, pembangkit listrik tenaga matahari dan angin. Ini akan memungkinkan sumber-sumber energi ini membantu bahan bakar sektor transportasi, yang saat ini 95% digerakkan oleh minyak, dengan tanpa mengeluarkan karbon. Ada beberapa prakarsa riset hidrogen yang sedang berjalan terutama di Jepang, Cina, Amerika Serikat dan Eropa. Semuanya meliputi desain nuklir inovatif yang akan menghasilkan hidrogen secara lebih langsung tanpa harus lebih dahulu menghasilkan listrik.
Energi nuklir, dengan demikian, senantiasa berada di barisan paling depan dari teknologi lain dalam memperhitungkan biaya lingkungan dan kesehatan publik ke dalam harga listrik. (Yaziz Hasan/dari berbagai sumber)